Theo baru saja mengakhiri rapat tepat pada pukul jam setengah 11 malam. Tidak lebih, tidak kurang, Theo selalu menepati janjinya kepada anak-anak. Begitu Theo selesai mengucapkan salam, semuanya saling memberikan pelukan, memberi energi positif sekaligus berterima kasih atas kerja keras dan kerja sama mereka sampai saat ini, sebuah tradisi yang tidak bisa terhindari. Winata dan Rasya langsung ngibrit duluan setelah berpelukan dengan Theo. 100% Theo yakin, kedua manusia itu menghindari kemarahan Theo karena kelakuan mereka tadi siang yang mengusir anak-anak himpunan.
Anak-anak lain sudah membubarkan diri. Sedangkan Jendral masih bengong di tempatnya. Tak bisa dipungkiri, kekecewaan itu masih terus membayang-bayangi dirinya sampai saat ini. Theo yang merasa bingung dengan Jendral langsung menepuk bahu Jendral, menyadarkannya.
"Ngelamun mulu lo, kemasukan setan sekre?"
Jendral menatap Theo dengan tatapan lemas. Theo seketika bergidik ngeri, tangannya mengguncang bahu Jendral. Tapi Jendral tidak melawan, membuat Theo semakin yakin jika ada yang salah dengan Jendral saat ini.
"Asli anjir, lo udah kemasukan," kata Theo melantur.
Karena takut, Theo segera membereskan barangnya dengan kecepatan extra. Setelah selesai, Theo segera bersiap meninggalkan Jendral dan sekretariat himpunan. "Lo kalo udah sadar, jangan lupa matiin lampu sekre, terus pulang ke kontrakan."
"Yo, anterin gue pulang," Jendral akhirnya membuka suara, namun suaranya terbilang lemah.
"Enggak mau anjir, entar lo malah minta anter ke kuburan bukan ke kontrakan," jawab Theo penuh penegasan dan juga ketakutan.
Theo benar-benar berpikiran yang tidak-tidak kepada Jendral. Buktinya ketika Jendral bangkit, Theo malah menjauh. Matheo Kalingga memang punya perawakan tak beda jauh dengan Jendral, tinggi, punya lengan kekar, dan tampang-tampang serius yang kalo udah marah akan terlihat menyeramkan. Tapi Theo adalah ketua himpunan yang paling penakut. Dia paling tidak mau jika harus tinggal sendirian di ruangan sekretariat. Daripada masuk ke ruangan tapi sendirian, Theo akan memilih untuk masuk ke sekretariat BLM yang selalu dipenuhi dengan orang-orang yang dikenalnya.
"Gue gak bawa motor Yo, si Winata juga gak setia kawan malah ninggalin gue disini, lo tega nyuruh gue jalan kaki tengah malam gini dari kampus ke kontrakan?"
"Tega, soalnya lo bukan Jendral."
Jendral mengusap wajahnya kasar, mengumpulkan sisa energi yang dia miliki, "Ini gue Jendral, bukan mbak-mbak sekre himpunan," kata Jendral sedikit sewot.
Theo masih tak mau percaya dengan apa yang dikatakan Jendral. Dia masih diam, tak tahu harus merespon apa. Karena jujur dalam pikirannya bisa saja yang dihadapannya sekarang ini sedang cosplay menjadi Jendral.
Tak kunjung mendapat respon, Jendral langsung menyampirkan tasnya. Merangkul Theo dengan tiba-tiba. "Ngopi dulu Yo, kayaknya lo spaneng gara-gara rapat."
Theo tak menjawab apapun, dia hanya menurut. Theo penakut.
***
"Mang kopi susunya dua ya."
Mang Sani menoleh, mendapati Jendral yang sedang berdiri ditemani Theo yang nampak asing di mata Mang Sani. "Tumben Dral bawa temennya."
"Kasian Mang, lagi stress gara-gara himpunan," sahut Jendral membuat Theo menjitak dengan keras, kepala Jendral.
Mang Sani hanya terkekeh mendengar jawaban yang dilontarkan Jendral. Keduanya duduk di bangku yang berada tepat di sebelah tanggungan Mang Sani. Jendral mengeluarkan rokok, menawarkan kepada Theo. Theo mengambil sebatang rokok dan meminjam gasoline milik Jendral. Sesaat setelahnya, mereka berdua menghisap rokok dan mengepulkan asap secara bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah
FanfictionJendral namanya. Menjadi kuat bukan slogannya. Jendral hanya laki-laki biasa penikmat kopi susu, rokok dan bahu Jalan Dago di penghujung malam sampai bertemu dengan pagi. Jendral selalu merasa tak ada tempat untuknya bisa pulang. Jendral selalu bera...