Tak peduli dengan akhir pekan, wisma FIB akan selalu dipenuhi oleh banyak orang. Tempat di mana seluruh elemen organisasi dari Fakultas Ilmu Budaya berkumpul dalam suatu bangunan yang di dalamnya terbagi menjadi belasan ruangan. Hampir mirip dengan kost-kostan.
Matahari masih malu-malu untuk menunjukan diri. Tapi di dalam ruang sekretariat ini, semuanya sudah sibuk dengan pekerjaan mereka. Karena beberapa jam lagi, tepatnya nanti jam 09.00 WIB akan ada kajian dari departemen PSDM. Kebetulan Jendral diamanahi oleh Winata selaku Ketua Pelaksana untuk menjadi Koordinator Lapangan. Daritadi Jendral yang paling sibuk mondar-mandir, bertanya kepada setiap divisi mengenai kendala dari tupoksi.
"Jen."
Jendral menoleh, mendapati Rasya yang kini berada di belakangnya. "Kenapa Ca?"
"Pembicaranya udah dihubungin belum? Terus itu gue belum nerima CV dari pembicaranya, gimana ya Jen?" tanyanya sedikit heboh.
"Tanyain ke humas Ca."
Rasya melenguh malas. "Gue lagi kemusuhan sama si Dipta, males banget entar gue kena amuk."
Jendral memijit pelipisnya, setelahnya menghela nafas lelah, "terus harus gue?"
Rasya membalas Jendral dengan cengengesan, "bantuin ya Jen."
"Hmm, oke gue bantuin."
Saking senangnya mendapat jawaban dari Jendral, Rasya hampir saja berhamburan memeluk Jendral. Untungnya Juan muncul dari arah belakang dengan celetukan, "Teh Aca mentang-mentang Bandung lagi dingin, malah nyari kesempatan buat meluk Bang Jendral."
Rasya menunduk malu, mengutuk kelakuannya tadi yang bisa dibilang gila, seperti bukan dirinya. Ah atau Rasya memang sudah gila tapi tidak menyadarinya? Pipinya juga memanas, darahnya ikut berdesir, meskipun itu 'hampir' tetap saja dia malu setengah mati.
Baru saja Juan ingin melempar ledekan lagi terhadap Rasya, tapi sayang niat yang dimilikinya gagal total. Karena Yera, sang pujaan hatinya datang menghampirinya. Kedatangan Yera kali ini bersama dengan Amarta, dan sekarang si kembar menjadi sorotan anggota himpunan. Karena tidak biasanya mereka berdua bisa berjalan tanpa diiringi dengan pertengkaran.
"Kak Juan," panggilnya sambil menepuk bahu Juan.
Juan menyambut Yera dengan wajah yang sumringah, "Hei, kamu ngapain kesini?" tanyanya lembut.
Tangannya dengan enteng menabok lengan Amarta dengan kekuatan penuh, membuat Amarta meringis kesakitan. Amarta langsung menatap kembarannya dengan tatapan bingung. "Kenapa sih lo?"
"Gara-gara elo, gue lagi enak-enaknya tidur lo malah bangunin gue buat nganterin lo ke kampus, kembaran setan!"
"Lah berarti elo juga setan," sahut Amarta tak mau kalah.
"Bajingan," umpatnya tak tahu tempat.
Jendral berdeham. Membuat Yera langsung tersadar, sadar akan ucapannya, akhirnya dia tertawa kikuk. "Maaf ya Kak."
"Santai aja Ra," sahutnya.
Jendral menepuk bahu Rasya, "Ca, semuanya, gue pamit duluan ya, mau nyari Dipta," pamitnya.
Tanpa berlama-lama, Jendral melangkahkan kakinya, menjauh dari kerumunan teman-temannya, keluar dari sekretariat himpunan. Dari belakang, Rasya berteriak, "makasih Jen."
Jendral tidak menjawab ucapan Rasya. Pandangannya tertuju ke berbagai arah, mencari keberadaan Dipta. Entah dimana Dipta berada, di segala penjuru wisma juga tidak terlihat batang hidungnya. Akhirnya Jendral memutuskan untuk keluar dari wisma, karena percuma saja dia mengitari wisma berkali-kali jika yang dicari olehnya saja tidak berada disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah
FanfictionJendral namanya. Menjadi kuat bukan slogannya. Jendral hanya laki-laki biasa penikmat kopi susu, rokok dan bahu Jalan Dago di penghujung malam sampai bertemu dengan pagi. Jendral selalu merasa tak ada tempat untuknya bisa pulang. Jendral selalu bera...