[5] Deklarasi Pertemanan

20 5 0
                                    

"Bu, lauknya tempe orek, omelet, sama paha ayam ya."

Tangan gadis itu menunjuk beberapa lauk yang berada dalam etalase. Berdiri menunggu pesanan sembari membaca bahan materi untuk presentasi. Sebentar-sebentar raut wajahnya berubah ketika berusaha memahami setiap materi yang harus dia jelaskan nanti saat jam mata kuliah datang.

"Bulan bego banget sih, materi segampang gini aja susah paham," rutuknya pelan.

Gadis itu mengutuk kemampuan otaknya yang paling susah dalam memahami materi perkuliahan. Bulan Juni Sabita adalah gadis yang biasa-biasa saja, tidak terlalu pintar, dan bukan gadis yang dikenal oleh banyak orang. Nama Bulan tak pernah masuk ke deretan mahasiswa yang IPKnya mendekati sempurna. Tapi dengan tekadnya yang kuat selalu membawa IPKnya ke angka 3.

"Neng, ini pesanannya."

Bulan menoleh, tangannya mengulur mengambil sepiring nasi dan juga lauk pauk yang telah disiapkan Ibu warung. Berjalan menuju meja yang berada di pojok depan. Begitu sampai, Bulan menyimpan piring dan juga makalah di atas meja. Meskipun Bulan mulai menyantap makanan, matanya tetap tidak bisa terlepas dari deretan angka yang harus dia jelaskan nanti di dalam kelas. Memastikan kembali rumus-rumus yang ada dalam makalah sembari mengunyah nasi.

Di samping Bulan ada Jendral yang tengah menyantap nasi sayur dengan ogah-ogahan. Beberapa kali dia menghela nafas lelah, memikirkan kembali perkataan randomnya tadi malam, "Kalo pindah ke bulan ribet banget harus ngurus surat izin ke NASA terus nyari roketnya juga gimana? Pohon yang nganterin Nini Anteh ke Bulan masih ada gak ya?" tanyanya kepada dirinya sendiri dengan melantur.

Merasa namanya dipanggil, Bulan yang konsentrasinya sedang terpecah langsung tersadar. Menoleh ke sumber suara. Dan nampaklah Jendral yang kini sedang mengaduk nasi sayurnya dengan tanpa minat. "Kamu manggil aku?"

Jendral terkesiap, menatap Bulan dengan raut wajah kebingungan. "Hah? Enggak-enggak, aku gak manggil kamu," sahut Jendral menggelengkan kepalanya.

"Tapi tadi aku denger dengan jelas kalo kamu manggil nama aku," jawab Bulan masih keukeuh.

"Enggak, aku tadi cuma ngomongin kepindahan ke bulan."

Bibir Bulan membentuk huruf O, menahan tawa karena sudah pede duluan. "Ooh bulan temennya bumi, kirain Bulan nama orang, maaf-maaf silakan lanjutin aja obrolannya," respon Bulan yang sudah terlanjur malu.

"Nama kamu Bulan?" tanya Jendral menerka-nerka.

Bulan mengangguk, "Iyaa aku Bulan."

Tangan Jendral mengulur, "Salam kenal, cita-cita aku punya nama Bintang biar bisa temenan sama Bulan."

"Hah?" sahut Bulan masih tak paham, tapi tangannya tetap membalas uluran tangan Jendral, bersalaman.

"Kenapa masih cita-cita sih? Emang nama kamu yang bener apa?" tanya Bulan kembali.

"Nama asli aku Jendral, tapi berhubung aku mau temenan sama Bulan, jadi kamu boleh panggil aku Bintang."

Bulan yang sudah tak sanggup menahan akhirnya tertawa. Menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan laki-laki yang berada disampingnya. Bulan menggeserkan badannya, melepaskan tautan tangannya dari Jendral.

"Emangnya ada peraturan kalo nama Bulan harus temenan sama nama Bintang?"

Jendral menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ya biar cocok aja sih, Bulan kan udah biasa kalo bersanding sama Bintang, nah coba kalo sama Jendral? Kejauhan, Jendral ada di bumi sedangkan Bulan ada di langit, Jendral bakalan susah buat ngegapai atau bahkan temenan sama Bulan."

Bulan diam, memikirkan perkataan Jendral, memang sedikit masuk akal. Tapi tetap saja menurutnya itu suatu ketimpangan. Bulan kembali bersuara, "Itu kan cuma nama, gak ada hubungannya sama realita."

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang