Sudah jam 3 pagi lebih 15 menit. Masjid-masjid di sekitar kontrakan Jendral sudah riuh dipenuhi dengan shalawat dari Bapak-Bapak yang mengawali hari mengucap rasa syukur kepada Tuhan karena telah diberi kesempatan untuk bernafas pada hari ini. Ayam jantan milik Pak Nazar berkokok dengan keras ikut menyambut hari yang baru.
"Tidak ada hari yang baru, semuanya akan tetap sama, menjalani kehidupan seperti kemarin, menghadapi setiap masalah yang tak kunjung usai, mengobrol dengan Mang Sani di penghujung hari, rapat proker sampe tengah malem, nugas terus sampe tipes," gumamnya pelan.
Jendral baru saja mengunci pintu kontrakan, menjatuhkan diri ke atas kasur tanpa berniat membersihkan badan terlebih dahulu. Sorot matanya terkunci ke satu arah, langit-langit kamar.
Jika dipikir-pikir, tidak ada yang menarik dari langit-langit kamar kontrakannya. Tidak ada bintang terselip yang dititipkan langit subuh kepada langit kamar kontrakannya.
Jendral hanya melihat kekosongan. Mungkin begitulah gambaran Jendral setiap harinya, sepi. Pikirannya dengan sengaja menerawang, mencari memori pilu itu dengan satu tarikan nafas. Sesuai permintaan, memori Jendral mampu memutar cd ingatan pada 16 Juni 2018, hari dimana Jendral melihat kekacauan, percekcokan besar antara Ibu dan Bapak di rumah. Seharusnya hari itu, dia menghabiskan hari bermanja-manja kepada Ibu karena esoknya akan pergi merantau. Tapi hari itu tidak benar-benar datang, karena dia harus menelan pil pahit dari sebuah kehidupan.
"Kamu itu cuma jadi beban, kamu selalu menuntut banyak hal, kamu tidak pernah mau tahu segala kesusahan yang harus saya hadapi demi sebuah penghidupan, saya benar-benar muak!"
"Memberi penghidupan sudah menjadi kewajiban yang harus kamu penuhi, aku bukannya tidak mau tahu segala kesusahan yang kamu hadapi, tapi jika kamu tidak memberi tahu segalanya, bagaimana bisa aku mengetahuinya?"
"Perusahaan sedang anjlok, Jendral harus tetap hidup diperantauan, karyawan banyak yang menanti upah, dan sekarang kamu dengan tidak tahu malu mengemis untuk dibelikan sebuah gelang yang baru kamu patahkan?! Kamu benar-benar tidak waras!"
Hari itu berbagai emosi tumpah ruah dalam satu ruangan. Dari belakang pintu kamar, Jendral mendengarkan setiap percakapan antara Ibu dan Bapak dengan saksama. Tidak ingin terlalu lama merasakan rasa sakit, buru-buru Jendral mengeluarkan koper besar dari atas lemarinya. Tangannya mulai tremor, tapi dia tetap berusaha dengan keras mengeluarkan baju-bajunya dari lemari, memasukan berkas-berkas penting, buku tabungan dan juga beberapa celengan yang tidak pernah sekalipun dia buka dari jaman SD.
Emosi masih membara dalam dadanya. Dia menggeret koper dengan kemarahan yang mulai mendominasi dalam dirinya. Membanting pintu kamar, menuruni tangga dengan terburu-buru. Begitu sampai di hadapan Ibu dan Bapak, dia menatap keduanya dengan tatapan penuh kecewa, "Ibu Bapak, Jendral pergi, Jendral tidak mau jadi beban Ibu dan Bapak lagi."
Belum sempat keduanya merespon, Jendral sudah memantapkan hatinya untuk melangkah pergi, keluar menjauh dari rumah. Jam 7 malam, ditemani dengan motor scoopy kesayangannya, Jendral pergi meninggalkan tempat yang dikira akan menjadi tempatnya ternyamannya, tapi ternyata dia menjadi beban untuk Ibu dan Bapak. Tidak ada pelukan, tidak ada selamat tinggal kepada kamar, hanya ada sesak dan penyesalan yang terlanjur mendalam.
Diam-diam Jendral mulai terisak dalam balutan angin pagi yang masuk menelisik lewat ventilasi jendela kontrakan. Jendral menyamping, menyembunyikan isakannya dengan selimut yang kini menutupi seluruh tubuhnya. Kekecewaan, penyesalan, dan keinginan untuk pulang menghantam dirinya tanpa diminta.
Tidak seperti orang lain, pagi itu Jendral mengawali hari dengan dipenuhi isakan yang semakin lama terdengar dengan keras.
"Ibu Bapak, Jendral rindu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah
FanfictionJendral namanya. Menjadi kuat bukan slogannya. Jendral hanya laki-laki biasa penikmat kopi susu, rokok dan bahu Jalan Dago di penghujung malam sampai bertemu dengan pagi. Jendral selalu merasa tak ada tempat untuknya bisa pulang. Jendral selalu bera...