episode 1

116 15 18
                                    

Sebelum baca, jangan lupa vote dan komen dulu ya
Happy reading, sehat selalu.

Hari jumat adalah hari yang terasa paling panjang buat aku. Sorenya selalu ada ekstrakurikuler pramuka. Kegiatan wajib untuk siswa baru selama satu semester. Jika tidak masuk, hari sabtunya yang jadi panjang.

Pada saat SMP, aku sudah jarang masuk. Akibatnya, sabtu siang saat pulang sekolah aku dibegal sama kakak kelas, "Dek, bayar denda dua ribu karena tidak ikut pramuka." Tidak berbeda dengan sekarang di SMA. Malah besar dendanya bertambah jadi lima ribu. Uangku sudah habis dipakai ke kantin. Tapi kakak kelas tetap memaksa, akhirnya aku berhutang ke Sahrul yang bernasib sama. Aku janji, hutang akan dibayar besok.

Total ada sebelas yang sedang dihukum berbaris di tengah lapangan, semuanya laki-laki. Perempuan selalu menjaga diri, termasuk derajat sosial di sekolah. Mereka tidak mau dipandang perempuan nakal meskipun hanya sebatas bolos.

Kakak kelas juga sok banget, sibuk menghukum kami yang bolos pramuka. Banyak pertanyaan di kepala, kenapa mereka suka bikin orang susah, suka ngurusin orang lain, bukannya lebih baik mengerjakan tugas atau melakukan hal lain daripada menghukum seperti ini.

"Lencang depan ... GRAKK!" salah satu kakak kelas mengambil komando. "Tidak boleh ada yang tangannya turun, sebelum saya suruh turun."

Kami melakukan sesuai perintah, tangan aku angkat lurus depan dada selama setengah jam. Beratnya bukan main, sangat pegal. Ingin segera turun. Ditambah-tambah panas matahari yang terus-terusan membakar kulit, keringat pun bercucuran tak habis-habis, kulit menjadi tambah gelap, rambut tak lagi hitam.

Kejam bukan? sudah bayar denda tapi hukuman juga ada. Senang sekali kakak kelas jadi omongan demi terkenal. Itulah yang aku tidak suka dari anak organisasi. Untuk orang pemalas sepertiku, yang mereka lakukan itu sungguh merepotkan dan tidak berguna.

"Mau pingsan aku Li," kata Sahrul, dia duduk di sebelahku setelah hukuman selesai. Kaki dia selonjorkan dan nafasnya terengah-engah. "Ke kantin yuk cari minum."

Aku duduk dengan posisi yang sama, lebih gak karuan. Hukuman dari kakak kelas ini berlebihan. Seluruh tubuhku basah oleh keringat. Ajakan Sahrul benar, minum es pasti segar.

"Aku udah gak kuat jalan, kamu aja sana. Aku langsung pulang abis ini." Meskipun minum es di kondisi lelah itu bikin seger, tapi aku tidak mau menambah hutang."

"Kalo kamu temenin aku ke kantin, hutang lima ribu itu aku anggap lunas."

"Ya udah kalo kamu maksa." Aku memasang muka terpaksa. Padahal senang bisa ditraktir es dan hutang tadi tidak perlu dibayar. Sungguh teman yang baik.

Aku ke kantin bareng Sahrul, menikmati es gratisan darinya. Setelah kerongkongan adem, kami berjalan ke parkiran. Dia memutar gas motornya lebih dulu. Arah pulang ke rumahnya berlawanan, jadi tidak bisa bareng.

Aku masih di parkiran memegang helm yang akan kupakai. Tanganku berhenti begitu melihat Ayu berjalan ke tengah lapangan membawa bola basket dengan seragamnya yang sudah dipakai. Rambutnya diikat satu seperti ekor kuda.

Ayu aktif berorganisasi, meskipun murid baru, sudah banyak yang mengenalnya. Termasuk aku yang satu angkatan dengannya. Dia anak 10-IPS-2, sedangkan aku 10-IPA-1.

Ayu, sesuai dengan namanya yang berarti cantik, dia primadona sekolah, resikonya sering jadi omongan teman-teman, baik laki-laki maupun perempuan. Rumor terbaru yang beredar, dia habis dilabrak kakak kelas karena genit ke kakak kelas laki-laki dan sudah merusak hubungan orang. Berita itu juga ramai di instagram dan grup whatsapp kelasku.

Awalnya aku langsung suka saat pertama melihatnya, meskipun sebatas memandangnya dari jauh saat MOS. Namun rasa suka itu luntur karena berita yang aku dengar. Sekarang aku melihatnya perempuan agresif, bukan lagi bidadari.

Setiap Sudut Wajah BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang