episode 2 part 2

44 12 4
                                    

Sebelum baca, jangan lupa vote dan komen dulu ya
Happy reading, sehat selalu.

Ini lanjutan dari episode 2 kemaren yang pendek. Maaf ya di bagi-bagi, soalnya otak lagi mampet 😂

Dengan mata sayu, kepala manggut-manggut seperti orang mabuk. Aku merogoh isi tasku, mengambil buku matematika yang ingin dia pinjam. Justru aku mengambil seluruh isi tas. Menaruh semuanya di atas meja, membiarkan Meli memilih sendiri.

Aku kembali menundukan kepala yang terasa sangat berat, melanjutkan tidurku yang tertunda.

"Alii." Meli memanggil lagi.

Aku kembali mengangkat kepala, "Kamu belum pergi?" tanyaku, merasa terganggu dengan pertanyaannya. Sangat terdengar kasar seperti mengusir. Aku menyesal mengatakannya. Aku merasa bersalah padanya, seharusnya sikapku lebih manis.

"Tidak baik tidur pagi-pagi begini, kamu harus hilangin kebiasaan ini.'

Selesai mengatakannya, Meli beranjak pergi dari depan mejaku. Aku menatapnya penuh perasaan bersalah, harusnya aku minta maaf. Aku menggenggam pergelangan tangannya, selagi belum jauh.

Meli menatapku heran, "Kamu megang tangan aku?" Niatku untuk minta maaf berganti dengan canggung, dalam suasana yang tidak bisa aku kontrol. Setiap bicara dengan wanita, aku selalu saja terjebak dalam situasi seperti ini.

"Bukunya jangan sampai rusak ya." Aku sudah kehabisan kata-kata.

"Aku bukan anak kecil lagi, Li." Meli lebih bisa memecah suasana. Aku lega, tanganku yang sedari tadi memegangnya segera aku lepas. Masih setengah canggung, aku tersenyum sipu. Dia lalu pergi, berjalan ke arah mejanya.

Sepuluh menit berlalu, Sidik, si anak paling berisik tiba di depan pintu kelas. Meski sudah terbuka, dia tetap mendobraknya hingga membentur tembok. Menghasilkan suara pengang yang merayap ke seluruh isi ruangan. Bahkan mengusir kantukku secara paksa.

"WOY RUSAK PINTUNYA." Irpan atau ketua kelas yang sedang duduk di pojok belakang membalas tak kalah keras.

"Yaelah gitu doang, lebay." Bukannya minta maaf, Sidik justru menampik. Menutupi rasa bersalahnya dengan menyalahkan balik orang lain. Semua sudah tahu kelakuannya, sebagian siswa lain memandangnya benci dengan wajah tak peduli, tidak mau berurusan dengannya.

Walau murid baru, sudah banyak kenakalan yang Sidik lakukan di sekolah. Orang tuanya bahkan mendapat undangan dari guru bk. Tidak lantas membuat perilakunya berubah. Seolah-olah sekolah ini adalah miliknya, tempat untuk bermain bukan belajar.

Dari pojokkan, Irpan mendatangi Sidik. Memarahi tindakannya barusan. Sidik membalas perkataan Irpan dengan tidak masuk akal. Sidik memang tak punya akal, dia hanya memikirkan dirinya sendiri seperti anak kecil.

Tiba-tiba Sidik menendang salah satu meja, membentur meja lain. Siswi yang mendengarnya, spontan berteriak. Nada bicara Sidik meninggi, dibalas pula oleh Irpan. Perkelahian pun tak terelakkan, saling adu pukul, saling tendang.

Aku merasa terganggu oleh kebisingan mereka, aku yang semula cuek bertekad untuk melerai. Tak punya pengalaman berkelahi atau bela diri aku langsung masuk ke medan pertempuran. Tanpa tahu arahnya, tiba-tiba pukulan Sidik menghantam tepat pelipisku.

Aku yang merasa kesakitan langsung terbawa emosi, berniat memukul balik.

"Udah Al. Gak usah dibalas." Irpan yang di sebelah menahanku untuk tidak memukul Sidik.

Sidik menatapku penuh salah. Dia lalu tiba-tiba bertingkah aneh, kedua tangannya memegang kepala seperti menahan sakit. Semua orang melihatnya heran. Secara mengejutkan, dia berteriak hingga terdengar ke kelas lain. Lalu berlari meninggalkan ruangan.

Aku bingung, tindakkannya barusan bukanlah untuk menutupi kesalahannya. Meskipun tidak ada pukulan dari aku atau Irpan yang mengenainya. Dia benar-benar kesakitan.

Irpan membawaku ke UKS untuk mengobati lebam di pelipisku. Meli yang melihatku kena pukul ikut mengantar. Sahrul yang baru datang, tidak tahu apa-apa ikut menimbrung, "Ada apa? kok rame? si Ali kenapa?"

"Udah ikut aja," kata Meli sambil menarik lengan Sahrul.

Sesampainya di tempat, Sahrul memanggil salah satu anak PMR. Secara mengejutkan, ternyata Ayu yang datang. Bersamaan dengan bel yang berbunyi, tanda jam pelajaran pertama akan di mulai. Irpan, Sahrul, dan Meli pamit, meninggalkan aku dan Ayu di ruang UKS.

Sepertinya sudah berpengalaman mengobati luka memar. Ayu sangat cepat bertindak, mengompres lukaku dengan es yang di bungkus handuk. Begitu mahir, sentuhan tangannya tidak terasa sakit. Sangat nyaman sampai ke hati, menimbulkan getar-getar di dada. Mencipta degup, gejolak aneh datang, tebas menyergap. Makin dalam tak terurai dalam ucap.

Sesekali bibirnya mendekat, meniup luka yang masih ada. Angin yang ditimbulnya serasa mengembus ke seluruh tubuhku, menggantikan nafas yang aku hirup. Menciptakan aroma cinta yang begitu indah.

"Tuhan ... apakah aku sudah di surga, hingga Engkau menghadirkan bidadari di sampingku."

Ini bukan semu, juga bukan mimpi. Di duniaku bisa kurasakan hadirnya. Aku melihatnya ada, sangat nyata di pantulan bola mata.

"Jangan ngeliatin aku gitu, Li." Ayu bicara tiba-tiba, memecahkan lamunanku.

"Wa-wajahmu terlalu dekat."

Dia lantas memanjangkan jarak sampai tangannya tak lagi menjangkau wajahku.

"Kamu ngapain ngelap-ngelap angin." Aku tertawa mesem melihat lawakan Ayu yang seperti anak kecil. "Aku yang kepalanya kena pukul, kok kamu yang jadi kayak orang gila."

"Ih, kan kamu yang tadi minta aku jauh-jauh."

"Yaudah sini yang deket sama aku." Mendengar perkataanku, Ayu membalik badan sesaat.

"Gak ah, kamu obatin aja sendiri," Ayu berkata ironi untuk menjaga harga dirinya. Terlalu gengsi mengakui.

"Ayu."

"Iya."

"Ayu."

"Apaan sih, mulai resek, deh."

Ketika Ayu sudah selesai mengompres pelipisku, handuk basahnya dia peras hingga atus. Aku yang malu nekat bertanya, "Besok kamu ada waktu luang gak?"

Suasana kelas kembali normal, meja yang rusak sudah diganti. Aku juga tidak melihat Sidik di dalam. Guru BK akan mengajar di kelas meski tidak sesuai jadwalnya, untuk membahas masalah Sidik.

"Li, udah sembuh tuh memarnya?" tanya Sahrul yang duduk di sebelahku.

"Masih sedikit sakit, tapi nanti sore juga sembuh."

Bu Siti masuk ke kelas. "Selamat pagi menjelang siang anak-anakku. Apa kabar semuanya? Maaf saya tahu ini bukan jadwal saya, tapi ada yang perlu saya sampaikan." Beliau berdiri di depan kami semua.

"Saya rasa kalian semua tahu, bagaimana sikap Sidik itu. Mungkin kalian merasa terganggu olehnya, merasa kesal, dongkol. Besok-besok jika dia berulah lagi, tanggapi sewajarnya, bersabar aja. Kita harus mengerti keadaannya. Kalian mungkin belum tahu. Orang tuanya baru cerai, perasaan anak yang gak ingin keluarganya pecah pasti sangat tertekan, sampai mental dia kena dan ... jiwanya juga terganggu. Kita yang masih memiliki keluarga utuh, harus lebih bersyukur, bisa lebih kuat menghadapi setiap masalah."

Aku dan semua siswa di kelas membatin mendengarnya, merasa iba dengan masalah yang Sidik alami. Semua anak pasti ingin keluarganya utuh, rukun, penuh kasih sayang, tidak bisa tergantikan oleh apapun. Keluarga yang semula bahagia dalam rumah, berganti kelam.

*********************
Jangan lupa vote dan komen
Selalu sehat dan bahagia ya kalian

Jangan lupa follow aku

Instagram: @n.syahidin
Terima kasih sudah mampir, nantikan cerita aku berikutnya

Setiap Sudut Wajah BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang