episode 3 part 2

33 12 2
                                    

Sebelum baca, jangan lupa vote dan komen dulu ya
Happy reading, sehat selalu.

Lepas melewati momen istimewa itu, aku dan Ayu berencana pulang. "Yu, tiket parkir kamu pegang, kan?"

Ayu langsung merogoh semua sakunya, membuka tas dan mengeluarkan seluruh isinya, bahkan barang-barang yang tak penting. "Gak ada, kayaknya kamu gak ngasih, deh." Dia terlihat panik.

"Ya, kan emang aku yang pegang, hahaha." Aku tertawa melihat ekspresinya yang lucu.

"Aww." Aku memekik, dia mencubit perutku.

"Resek, ya." Dia merajuk, muka kesalnya menggemaskan. Ingin aku mencubit pipinya, tapi aku tidak berani karena ini tempat umum. Meskipun dalam keadaan sepi, tidak ada yang tahu sedetik kemudian bisa saja ada orang lewat.

"Hai Ayu." Dua orang tiba-tiba datang menghampiri kami, mereka Kak Rina dan Kak Budi.

"Hai juga Kak Rina, Kak Budi. Kayaknya lagi asik jalan berdua ya." Ayu membalas sapaan mereka. Aku merasa seperti akan ada pembicaraan yang tidak menyenangkan.

Kak Rina melirik ke arahku sesaat, kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke Ayu penuh sinis. "Kalian lagi kencan?" Kak Rina tersenyum kambing. "Tapi kamu gak bawa pacar orang kan, Yu?" Basa-basi kak Rina sungguh tidak etis.

Aku melihat Ayu tertekan, dia memang pernah punya masalah dengan Kak Rina beberapa minggu lalu. Sampai sekarang, sepertinya Kak Rina masih dendam. Sebelum terjadi keributan, aku harus segera membawa Ayu pergi. Aku yang mengajak Ayu jalan, bertanggung jawab menjaganya sampai pulang.

"Ya aku pacar orang, dan orang itu adalah Ayu." Aku lebih mendekat ke Ayu, merangkulnya dari samping.

"Sejak kapan kalian pacaran?" Dahi Kak Rina mengkerut.

"Sejak lama." Aku mengarang spontan. Kak Rina masih tidak percaya dengan perkataanku. Tidak ada pilihan lain, aku akan mencium Ayu di depan mereka, "Mwahh." Bibirku menyentuh pipinya yang lembut.

Karna ulahku, Kak Rina ternganga melihatnya. Tidak mampu berkata-kata.

"Dah Kakak-kakak." Aku membawa Ayu pergi menjauh dari mereka, sebelum Kak Rina kembali berbicara.

Di tempat yang sudah sepi, tidak ada aroma kak Rina lagi, Ayu melepaskan tanganku yang merangkulnya. Tangannya cepat mengarah ke perutku.

"Aww." Aku teriak kesakitan, Ayu mencubit perutku lagi, lebih kuat dari sebelumnya.

"Apa-apaan kamu maen cium aku di depan orang," ucap Ayu kesal.

"Kalau gak ada orang boleh dong?"

"Aww." Ayu mencubitku lagi. Ini sudah ketiga kali. "Aku kan cuma lagi nolongin kamu dari kak Rina." Aku meringis, mengusap-usap perih di bekas cubitannya.

"Ya kan gak harus cium juga." Ayu tetap merajuk. Masih terlihat menggemaskan, tapi auranya terasa sangat seram dan menakutkan.

Aku meraih tangannya, "Iya-iya. Aku minta maaf."

Dia melepas tanganku, tidak mau melihatku, juga tidak mau bicara. Berkali-kali aku bujuk masih diam, tanganku selalu di tepis saat aku ingin meraihnya lagi. Tidak ada kesempatan. Setelah mengisi hari dengan indah, malah ditutup dengan pertengkaran. Bodohnya aku, bisa seceroboh ini.

"Ayu." Aku masih mencoba lagi. "Aku janji gak bakal macem-macem lagi sama kamu, suer." Aku membentuk kedua jari menyerupai huruf (V).

Ayu tetap membisu, seakan aku hanya berbicara dengan patung. "Ayu, kalo kamu masih marah. Ini pukul aku, cubit aku sampai puas. Gak enak tahu didiemin. Marahnya di lanjut di rumah ya, kita pulang dulu udah sore."

Ayu menarik tanganku. Sepanjang jalan dia masih diam, pertanyaanku pun dia abaikan. Dibawa kemana saja aku pasrah, asalkan merajuknya hilang. Padahal adegan ciuman di film-film roman terlihat romantis. Tapi jelas itu fiktif, seharusnya aku tidak percaya dengan dongeng percintaan.

Ayu mendudukanku pada kursi panjang berbahan kayu dengan cat warna coklat. Setelah diam lama, akhirya dia mulai bicara, "Li, kamu pasti udah tahu, kan. Kenapa kak Rina bisa benci sama aku."

"Karena gosip kamu sama kak Budi?" aku bertanya memastikan. Sepertinya Ayu ingin bicara serius.

"Iya, tapi itu gosip gak bener." Ayu menarik nafas panjang. "Yang ngirim chat itu bukan aku, bahkan aku gak pernah bales chat dari kak Budi. Sedikit pun aku gak pernah suka sama dia.

Kak Budi yang tiba-tiba suka genitin aku. Sejak itu, kak Rina mulai benci sama aku. Aku gak sadar, HP aku ternyata dibajak tepat saat mereka lagi tukeran HP, dan ngirim chat mesra ke kak Budi, yang baca kak Rina langsung, dia ngiranya kalo aku sama kak Budi ada sesuatu. Dia gak percaya sama penjelasan aku. Malah dia ngata-ngatain aku macem-macem.

Bahkan sampai sekarang, kak Rina masih suka fitnah aku di sosmed. Aku curiga, jangan-jangan kak Budi dan kak Rina yang udah ngatur ini. Buat ngejatuhin nama aku. Padahal dulu satu geng, tapi kak Rina tega ngelakuin ini. Salah apa aku sama dia?"

Ayu merintih usai bercerita panjang, dia menjatuhkan kepalanya di bahuku. "Salah apa aku sama dia, Li?"

Aku mengelus-elus lembut rambutnya, "Kamu gak salah, mungkin dia memang bukan teman yang baik buat kamu."

Aku mengerti permasalahannya sekarang, itu masuk akal. Ayu sangat cantik, kak Rina pasti merasa tersaingi dengan kepopuleran Ayu. Hingga dia memfitnahnya, untuk membuat dirinya naik, dengan menjatuhkan orang lain.

Ada hal yang baru aku sadari, menjadi good looking itu tidak sepenuhnya indah. Di balik pujian yang didapat, akan ada orang iri yang ingin menjatuhkan. Mencari celah dalam kesalahan, atau bahkan memfitnah tanpa alasan.

Aku merasa bersalah pernah berfikir buruk tentang Ayu. Seharusnya aku tidak menilainya hanya dari gosip-gosip yang tidak jelas. Apalagi sekarang aku pacarnya, sepatutnya aku membantunya setiap dia ada masalah.

Ayu mengangkat kepalanya dari bahuku, tangannya mencoba mengusap air di matanya. "Dasar aku, masih saja tidak peka." Aku menahan tangannya, tak membiarkan dia mengusap sendiri.

"Sekarang kamu punya aku, kamu bisa cerita semua sama aku." Aku tersenyum di depannya, memberinya semangat, menyeka pipinya yang basah. "Udah yuk pulang, sebelum gelap."

Rumahku dan Ayu cukup jauh dari pusat kota, bisa memakan waktu satu jam perjalanan. Jalan yang biasa aku lewati, khususnya jalan yang di tengah sawah itu kadang sepi, terlalu menakutkan jika gelap belum pulang. Bukan takut sama hantu, aku takut sama begal.

Saat tadi pagi, aku langsung menemuinya di tempat perjanjian. Tapi sekarang, aku adalah pacarnya. Aku akan mengantarnya sampai ke depan rumah, memastikan dia selamat.

Setelah sekitar satu jam di jalan, akhirnya sampai di depan gerbang. Lampu di teras rumahnya sudah menyala, menerangi sekitar yang sudah mulai gelap. Ayu turun dari motorku. "Ali, aku masuk ya. Jangan kangen!" Ayu meledek.

"Yang kangen mah kamu, aku kan belum pulang."

"Ya udah hati-hati."

"Ayu, makasih ya untuk hari ini." Aku membelai rambutnya sebelum pergi. "Kamu masuk sana, udah ditungguin pasti sama orang rumah."

Ayu membuka pagar rumahnya dan berhenti di depan pintu, menoleh ke belakang, memberi senyum terakhirnya untuk hari ini. Lalu hilang di balik pintu rumah.

Sudah tidak ada raga lagi untuk menopang sunyi. Aku akan menahan rinduku hingga esok hari, sampai pelita hati hadir di hadapanku lagi. Untuk memberikan senyum, yang aku nanti-nanti.

*********************
Jangan lupa vote dan komen
Selalu sehat dan bahagia ya kalian

Jangan  lupa follow aku

Instagram: @n.syahidin
Terima kasih sudah mampir, nantikan cerita aku berikutnya

Setiap Sudut Wajah BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang