01. Pengumuman Penting

3.6K 353 42
                                    

          Sudah sejak sepulang sekolah tadi, seisi rumah dibikin uring-uringan karena Riki enggak mau keluar kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          Sudah sejak sepulang sekolah tadi, seisi rumah dibikin uring-uringan karena Riki enggak mau keluar kamar. Hesa yang kuliahnya cuma satu pelajaran saja hari ini, memilih buat absen dari latihan band dan buru-buru pulang. Ia langsung mendapat tugas membujuk Riki karena yang lain masih di sekolah. Selain itu, Mami juga sudah coba membujuk anak bungsunya itu, namun enggak berhasil. Riki bergeming, memilih bermain gim di ponselnya dengan penyuara yang terpasang di telinga.

Saat Hesa berjalan masuk ke kamarnya, Riki melirik sepintas, lalu melengos begitu saja. Mengabaikan abangnya yang sudah bersedekap dan menunjukkan wajah jengkel luar biasa, Riki malah makin intens bermain dan beberapa kali berbincang dengan lawannya di ujung sambungan. Hesa yang mencoba merebut ponsel dari tangannya pun harus rela mendapat tendangan sukarela di lututnya. Akibatnya, cowok dua puluh dua tahun itu cuma bisa duduk di samping ranjang selagi menghela napas panjang.

Anak ini berulah lagi.

"Kamu kenapa lagi, sih?" tanyanya pada sang adik. Tapi entah karena telinganya tersumbat penyuara atau memang tak mau menjawab, Riki hanya diam saja. Hesa akhirnya menarik lepas sebelah penyuara dan menjewer pelan telinga adiknya. "Abang lagi ngomong, Ki!"

"Duh, apaan sih, Bang? Kalah, nih, mainnya!"

"Biarin aja, diajak ngomong juga," Hesa berkata sembari bergeser mendekat. Jemarinya bergerak turun, berganti menekan bahu Riki agak dalam. Ia lantas melanjutkan dengan nada yang melembut, "Simpan dulu ponselnya, nanti main lagi kalau Abang udah selesai bicara."

"Ngomong aja, Adek bakal dengerin, kok."

"Enggak akan bisa masuk kuping kalau sambil main. Simpan dulu!"

Meski dengan mendengkus keras dan memukul permukaan kasur, Riki akhirnya menyimpan ponselnya di atas nakas. Ia masih enggak mau melihat ke arah Hesa, malah makin melengos jauh setelah menerima perintah dari abangnya tersebut.

"Kenapa enggak mau keluar kamar? Mami panggil-panggil kamu dari tadi, lho," ucap Hesa kemudian, menepuk ujung kepala adiknya sejenak. "Enggak biasanya kamu ngambek sama Mami kayak gini, Ki."

"Tanya aja sana sama Mami," cetus si bungsu, nada bicaranya terdengar marah, tangannya juga lantas bersedekap di depan perut.

"Mami mana tau kamu kenapa, orang dari tadi kamu enggak mau nyaut kalau dipanggil Mami."

"Pokoknya salah Mami, Bang! Salah Mami sama Papi! Bukan salah Adek kalau enggak mau keluar kamar."

Hesa menggaruki lehernya, mulai pusing. "Duh, ada apa, sih? Emangnya Mami ngapain kamu? Bukannya kemarin masih manja, apa-apa lari ke Mami. Kenapa sekarang malah enggak mau bicara sama Mami?"

Tak lekas terdengar jawaban, Hesa kemudian melongokkan kepala, mengecek wajah adiknya yang mulai memerah. Ia memutar paksa kepala Riki agar menghadapnya, dan menemukan anak itu malah menangis tak lama kemudian. Mengerjap panik dan makin kebingungan, Hesa cuma bisa mengaduh sembari mengusap airmata Riki yang berderai melewati pipi. Hidung si bungsu memerah, matanya sembab, dan untuk beberapa jenak, Hesa berpikir ingin tertawa melihatnya. Ia masih belum tahu ada masalah apa antara Riki dan Mami, tapi ia tak mau mendesak adiknya itu sekarang.

BUNGSUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang