Dari kelima abang yang masih menjemput mimpi di Minggu pagi itu, Sergin adalah satu-satunya yang berhasil bangun ketika mendengar kemeresak bunyi duo bontot di ruang tengah. Enggak tahu pastinya apa yang mereka rundingkan; enggak biasanya juga mereka bangun pada pukul enam pagi begini. Dengan kuap yang mengudara berkali-kali, mata Sergin yang setengah terbuka menjumpai Jovan dan Riki sudah berpakaian rapi sembari menyandang tas kecil.
Ia lantas berjalan makin dekat. "Kalian mau ke mana?" tanya si abang.
Jovan dan Riki tampak terkesiap, enggak menduga salah satu abangnya terbangun pagi-pagi. Padahal mereka pikir, tadi sudah berbicara dengan pelan supaya enggak terdengar. Tapi barangkali mereka lupa, kalau pelan yang mereka maksud itu sama saja dengan berbicara seperti biasa. Jovan dan Riki itu paling enggak bisa berbicara dengan suara pelan kalau memang enggak sedang dalam situasi yang mengharuskannya begitu.
Jovan beringsut mendekati abangnya, menjelaskan singkat, "Kita mau sepedahan sama teman-teman komplek, Bang. Tolong bilang ke yang lain kalau kita pergi, ya, nanti?"
Dahi Sergin berkerut sejenak. "Terus... ngapain belum berangkat? Malah ngobrol di sini, suara kalian tuh enggak pelan, tahu!" gerutunya.
"Masa?" Jovan menutup mulutnya. Ia melanjutkan dengan suara yang begitu pelan, meski terdengar dipaksakan dan jadinya malah berintonasi berat, "Habisnya tadi Riki enggak mau pakai sepatu, mau pakai sandal aja, padahal 'kan ngayuh sepedanya jauh."
Sergin sekonyong menatap si bungsu. "Ngayuh sepeda pakai sandal kakimu pengin copot apa?" cercanya.
"Habis kalau pakai sepatu panas, Bang, keringatan terus kakinya jadi bau," ujarnya membela diri.
Sergin hanya menggeleng tak habis pikir. Ia berkacak pinggang, menatap Riki kian tajam—satu teknik yang dipelajarinya dari Hesa atau Jafar jika Riki membangkang. "Kalau enggak pakai sepatu, enggak usah berangkat sepedahan! Nanti kalau kakimu lecet, nyambat juga ke abang-abang," ucapnya tegas.
Riki tampak menciut, nyali yang biasanya lebih besar dari tubuhnya itu, mengkerut tinggal sebesar ujung kuku. Dalam matanya, Sergin pagi ini tampak berbeda. Entah mengapa cowok itu bisa terlihat seram setelah bangun tidur, padahal biasanya, ia abang yang paling Riki andalkan. Berbekal prasangka kalau-kalau Sergin bisa kerasukan sosok Jafar pagi-pagi begini, Riki akhirnya berjalan ke rak sepatu. Tanpa berucap apa pun, ia mengenakannya dalam diam.
Sergin sedikit terkejut dengan respons si adik—lebih terkejut dengan dirinya yang akhirnya bisa menaklukkan Riki tanpa adanya perdebatan yang panjang. Tapi entahlah itu akan bertahan berapa lama, mungkin saja saat ini Riki hanya menurut karena sangat ingin pergi bersepeda bersama teman-temannya. Enggak ada yang tahu pasti bagaimana Riki bersikap nanti atau esok hari.
"Tsk, semuanya jadi mirip Bang Gano, galak!" gerutu Riki seorang diri. Anak itu akhirnya berjalan ke luar rumah, berkacak pinggang di beranda sambil setengah berteriak, "BURUAN, JO, NANTI KITA KETINGGALAN!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNGSU
Aventura⋆ ᴇɴʜʏᴘᴇɴ ʟᴏᴋᴀʟ ⋆ Byakta Riki Mandala itu anak bungsu dari tujuh bersaudara. Seperti anak bontot pada umumnya, kerjaannya kalau di rumah cuma cari ribut sama abang-abangnya, kalau enggak gitu ya buat prahara yang bikin keenam abangnya itu cuma bisa...