09. Kemelut Hati Bang Hesa

1.4K 188 23
                                    

          Sebetulnya, Riki enggak terlalu peduli setiap kali abang-abangnya kedapatan masuk rumah dengan menampilkan muka kusut seperti lipatan baju yang belum disetrika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          Sebetulnya, Riki enggak terlalu peduli setiap kali abang-abangnya kedapatan masuk rumah dengan menampilkan muka kusut seperti lipatan baju yang belum disetrika. Ia hanya sanggup menebak-nebak apa yang mungkin tengah terjadi jika melihat mereka berwajah seperti itu. Anak itu juga enggak ingin bertanya atau mengorek informasi secara jelas, karena ia bukan termasuk golongan orang-orang kepo seperti Jovan atau Sano. Tapi malam ini, mendadak Riki jadi penasaran berat setelah menemukan Hesa pulang kuliah dengan wajah masam dan tampak luar biasa kecewa―bahkan sampai enggak keluar kamar buat makan malam bersama.

Bukan hanya si bungsu, kelima abangnya yang lain pun turut bertanya-tanya; ada apakah gerangan dengan abang tertua mereka? Enggak biasanya Hesa sampai melewatkan makan malam seperti itu. Kalaupun ia sudah makan malam di luar, ia akan tetap berada di meja makan untuk sekadar menyeduh teh dan menyantap camilan, menemani adik-adiknya makan. Tapi malam ini, cowok itu enggak terlihat ingin keluar dari kamarnya untuk melakukan rutinitas seperti biasa―tak pelak mengundang curiga dari adik-adiknya.

Selesai meletakkan piring di bak cuci, Riki enggak kembali duduk di kursinya di ruang makan. Ia berdiri di sebelah Jendra yang masih menghabiskan sup buntutnya, memandang Jafar yang duduk di seberang cowok itu. "Bang Hesa enggak dipanggil lagi buat makan, Bang? Keburu dingin supnya," tanyanya, merasa agak khawatir.

Jafar membalas tatapan Riki lurus, kemudian memutar pandang ke arah lorong yang menuju ke kamar si sulung. Cowok itu menghela sesaat. "Coba kamu yang ajak, Ki. Tadi, sih, pas Abang ketuk-ketuk pintunya dikunci dan Bang Hesa bilang lagi enggak lapar," balas Jafar.

Diiringi anggukan singkat, si anak bontot pun melenggang pergi ke kamar Hesa. Ia langsung mencoba membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu begitu tiba di sana. Baru setelah tahu kamarnya masih dikunci, anak itu mengetuknya sambil berseru dari luar, "Abang! Makan malam hari ini sup buntut, lho. Buruan keluar, nanti dingin lagi!"

Riki sekonyong mendekatkan telinganya ke daun pintu, mencuri dengar apa yang terjadi di dalam. Tak berapa lama, ia buru-buru menjauh sebab pintu berderit terbuka perlahan. Wajah sembab Hesa menyembul dengan mata yang mengantuk. Bibirnya menyunggingkan senyum pias yang tampak menakutkan di mata Riki; abangnya enggak tiba-tiba berubah jadi zombi, 'kan?

Sedikit terkesiap, Riki termundur beberapa langkah. "Abang enggak ma―makan malam?" tanya Riki, suaranya mendadak tercekat.

Hesa masih tersenyum selagi menyahut kalem, "Kalian udah makan semua?"

"Udah, tinggal Abang doang yang belum makan."

"Bagus, deh," ujarnya, mengusap ujung kepala Riki sebentar. "Asal kalian udah makan, Abang juga bakal kenyang, kok."

"Mana bisa begitu?" tanya Riki, kini merangsek maju lagi sambil bersedekap. Ternyata abangnya enggak jadi zombi, ia masih manusia normal; masih bisa bernapas dengan benar. Riki lantas melanjutkan, "Perut kita 'kan beda-beda, Bang. Emangnya, makanannya bisa ditransfer gitu?"

BUNGSUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang