Sudah sejak dua malam lalu―usai mendapat pengumuman kecil dari Mami dan Papi dalam grup chat keluarga―Riki tampak murung dan lebih sering menyendiri di dalam kamarnya. Ia enggak pergi main lagi seperti biasa, bersikap cuek pada abang-abangnya, bahkan saat semuanya merayakan ulang tahun Sergin semalam, ia enggak tampak antusias; hanya makan sesuap potongan kue dan kembali ke kamar untuk menggambar beberapa tokoh anime dalam buku sketsanya.
Hesa sesungguhnya enggak tega, apalagi si bungsu mulai kehilangan selera makan―yang padahal biasanya jatah lauk miliknya serta milik Jendra suka diembat diam-diam. Tapi ia tak dapat berbuat banyak, bagaimanapun juga Mami bilang untuk enggak memberi tahu yang lain, terutama pada Riki. Mami dan Papi sudah menyiapkan kejutan, tentu saja, mereka enggak akan melewatkan ulang tahun Sergin dan Riki meskipun pekerjaan tengah menyita waktu keduanya.
"Adek, makan dulu," ucap Jendra dari depan pintu kamar Riki yang tertutup.
Hesa berdiri di sampingnya, menyandarkan sebelah lengan pada kusen pintu. Ia menghela berat, sesaat melirik Jendra dan adiknya itu hanya menggeleng tanda menyerah. Sudah empat kali Jendra mencoba membujuk Riki untuk makan malam, bahkan saat ia berusaha masuk, si adik malah mencak-mencak dengan buas; melempari Jendra dengan bantal sampai abangnya tersebut termundur dan memilih keluar dari kamar.
Kalau begini terus, Hesa yakin kalau anak itu enggak akan mau keluar kamar, padahal di meja makan para abang sudah menyiapkan kue dan camilan untuk disantap bersama-sama lantaran hari ini merupakan hari ulang tahun si bungsu―tepat satu hari setelah Sergin merayakan bertambahnya usia.
Hesa akhirnya menegakkan posisi. Ia meminta Jendra untuk kembali ke meja makan, sementara dirinya mengetuk pintu kamar Riki sekali lagi. "Abang masuk ya, Ki?" katanya agak lantang, tapi enggak terdengar jawaban sama sekali. Hesa memutar knop, menyembulkan kepala sejenak, lalu menemukan Riki duduk di meja belajar sambil menggambar. Dengan perlahan, ia menutup pintu kamar si adik, berjalan mendekat, dan akhirnya berdiri agak jauh―berjaga-jaga kalau barangkali ia akan dilempar bantal persis seperti yang terjadi pada Jendra tadi.
Hesa kemudian bergumam, "Udah genap sepuluh tahun, lho, adik Abang ini pasti udah makin pintar dan tambah pengertian." Cowok itu berdeham sekali, melihat respons adiknya yang masih bergeming pada posisi. Ia melanjutkan, "Mami dan Papi udah video call 'kan tadi siang? Mereka enggak bisa datang bukan karena enggak mau, Ki, mereka pasti pengin banget datang, tapi enggak bisa karena ada halangan. Lagian, Mami sama Papi udah janji akhir tahun bakal dirayain bareng sama Bang Sergin juga. Jadi, udah ya ngambeknya? Abang dan yang lain udah siapin kue buat kamu, ada smoothie kesukaan kamu juga di depan, ayo keluar, Ki!"
Sejenak, Hesa merasa pesimis karena Jendra yang paling sabar di antara mereka saja sudah menyerah untuk membujuknya, apalagi dirinya. Melihat Riki enggak memberinya atensi sama sekali, tampaknya merupakan satu pertanda kalau pesta kecil yang tadi disiapkan oleh para abang akan gagal total. Apa boleh buat, Riki bahkan enggak mau melirik Hesa dan terus sibuk menggambar. Mungkin memang sudah waktunya untuk menyerah sekarang, percuma membujuk Riki saat ini karena kemarahan masih menyelimuti hatinya dengan begitu besar. Daripada bertambah marah, Hesa lebih baik membiarkannya sendiri dulu. Itu yang terbaik untuk saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNGSU
Aventure⋆ ᴇɴʜʏᴘᴇɴ ʟᴏᴋᴀʟ ⋆ Byakta Riki Mandala itu anak bungsu dari tujuh bersaudara. Seperti anak bontot pada umumnya, kerjaannya kalau di rumah cuma cari ribut sama abang-abangnya, kalau enggak gitu ya buat prahara yang bikin keenam abangnya itu cuma bisa...