21. Tragedi Sabtu Sore

1.5K 175 24
                                    

          Sore hari selepas hujan turun dengan deras, suara kelontang bel penjual cilok terdengar keras dari depan portal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          Sore hari selepas hujan turun dengan deras, suara kelontang bel penjual cilok terdengar keras dari depan portal. Suara tersebut sukses menyapa gendang telinga Riki, anak laki-laki terbontot yang semula menggores pensil di buku sketsanya secara acak hingga mencipta sebuah gambar abstrak itu pun lekas berhenti melakukan kegiatannya dan beringsut keluar dari kamar. Ia berlari menuju portal usai membuka gerbang rumah serampangan, tapi sayang bapak penjual tersebut enggak mangkal di tempatnya biasa dan hanya lewat untuk pergi ke tujuan selanjutnya, mengingat ini adalah hari Sabtu, biasanya alun-alun kota akan ramai dan tentu ia mendapat banyak pembeli di sana. Si bungsu bahkan sudah berteriak memanggil dibantu oleh Mas Arul, tapi suaranya enggak mampu membuat penjual cilok berhenti dan terus melaju lebih jauh dari komplek perumahan.

Riki mendengkus keras-keras, memberengut dengan bahu yang melorot lesu. Ketika sudah kehilangan minat buat beli cilok, suara decit rem sepeda yang berhenti di belakangnya, membuat senyumnya terlengkung sumringah lagi. Nolasano datang membawa sepeda mini milik Mbak Dera yang memiliki tempat boncengan di belakangnya. "Ayo naik! Abang juga lagi pengin cilok nih," ucapnya.

Sekonyong-konyong, si bungsu melompat naik ke boncengan belakang sepeda. Ia berpegangan pada sadel yang diduduki Sano menggunakan satu tangan, sementara sebelahnya lagi ia angkat tinggi-tinggi sembari berujar penuh semangat, "Berangkat!" Saat akhirnya roda sepeda mulai menggelinding meninggalkan portal, Riki melambai pada satu-satunya satpam komplek tersebut. "Dadah, Mas Arul!" katanya.

"Hati-hati, yo, Mas! Jalanan licin e baru hujan," balas Mas Arul, memperingatkan kedua anak itu.

Riki hanya mengangguk dan mengangkat jempol, lantas kedua tangannya digunakan untuk berpegangan pada sadel karena mereka melewati jalanan menurun dan membuat sepeda melaju lumayan kencang. Agak panik dengan kecepatan mereka, Sano lekas menarik remnya perlahan-lahan. Anak laki-laki itu sebetulnya sudah bisa mengendarai motor, tapi para abang belum mengizinkannya berkendara sendiri―apalagi membonceng Riki seperti ini. Jadilah tadi ia meminjam sepeda mini Mbak Dera saja sebelum beliaunya pulang bekerja pukul lima sore nanti.

Ada beberapa pesepeda lain yang bersimpangan dengan mereka, pakaian yang dikenakannya sama semua, sepertinya mereka dari klub tertentu yang baru pulang bersepeda. Denting bel dibunyikan untuk menyapa, sambil lengkung senyum menebar ke setiap orang yang ditemuinya, Sano lantas mendapat pujian lantaran keramahan dan senyum manisnya yang membuat gemas orang-orang. Beberapa dari mereka bahkan balas tersenyum, ada pula yang melambai, pun tampak ingin mencubit pipi Sano dan Riki yang menggembung tembam.

Jika Sano merasa senang melihat orang-orang menunjukkan sikap gemas terhadapnya, berbanding terbalik dengan Riki yang justru merasa malu dan lekas bersembunyi di belakang punggung abangnya. Wajahnya terlihat memerah ketika mereka berhasil menghentikan penjual cilok di tepi jalan dan turun untuk membeli beberapa.

"Lima ribuan empat porsi, ya, Mas. Dua pedas, yang dua dikit aja sambalnya."

Mendengar Sano melontarkan pesanannya, Riki beringsut mendekat. "Kok empat? Emang ada yang minta dibelikan?" tanyanya. Ia pikir mereka hanya akan membeli dua saja, tapi ternyata ada yang memesan dari rumah.

BUNGSUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang