22. Trauma

2.5K 212 28
                                    

          Belakangan, senyum dan tawa ceria Riki sudah jarang sekali terdengar mengisi sepenjuru rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          Belakangan, senyum dan tawa ceria Riki sudah jarang sekali terdengar mengisi sepenjuru rumah. Sosoknya yang suka membuat onar pun enggak sering terlihat ketika para abang tengah berkumpul bersama atau hanya sekadar mengobrol sambil main PS. Setiap selesai makan bersama, anak itu pasti langsung pergi ke kamarnya―entah hanya akan menggambar atau mengerjakan tugas-tugas sekolahnya dan barangkali malah tertidur. Ia menjadi lebih pendiam, dan meskipun hal itu membuat Jafar tak lagi perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk berteriak-teriak saban harinya, cowok tersebut justru menjadi tak tenang. Perubahan drastis yang terjadi pada sikap Riki menjadikan para abang turut kebingungan. Kali ini, mereka bahkan tak tahu lagi bagaimana membujuknya, padahal segala cara sudah dilakukan―mereka juga menjanjikan kedatangan mami dan papi, tapi rupanya tak ada yang berubah sama sekali.

Selama berada di sekolah―melalui penuturan Jovan yang tanpa sadar mengawasinya beberapa hari ini―Riki masih tampak bermain bersama teman sekelasnya, akan tetapi hanya seperlunya, kemudian ia akan kembali ke kelas dan tertelungkup di atas mejanya. Ia mungkin menampilkan senyum di depan teman-temannya, tapi tak pernah mencapai matanya. Ia selalu terlihat sedih dan lesu, suka melamun di satu waktu, juga mulai kehilangan minat pada hal-hal yang dulu begitu disukainya; seperti sepak bola dan menggambar.

Lalu di Jumat sore itu, Jafar mendapati Riki pulang ke rumah menjelang petang. Baju sekolahnya lusuh, kotor, dan basah. Ia menenteng sepasang sepatu yang juga tampak dalam kondisi serupa. Hanya tas sekolahnya saja yang aman, mungkin karena di dalamnya ada buku-buku dan peralatan sekolah yang akan gawat jika sampai kuyup.

Jafar sudah hampir memekik dan memarahi si bungsu kalau saja ia enggak melihat sejumlah luka di jari-jari kaki anak itu. Dengan perasaan yang mencelos, cowok tersebut menghadang adiknya di pintu masuk depan. "Dari mana aja kamu?" tanyanya, meski terdengar sedikit sengak, namun sarat kekhawatiran.

Riki hanya melengos, enggan bertatapan dengan si abang. "Main bola," jawabnya sambil lalu. Ia mencoba masuk ke dalam rumah, namun Jafar tak bergeser sedikit pun dari birai pintu.

"Main bola enggak pakai sepatu bola?" Jafar merasakan emosi yang merambat cepat menuju ke wajahnya hingga membuat matanya kini sedikit berkaca-kaca. Tanpa sadar, ia berseru dengan suara yang sedikit serak, "Kamu sadar enggak kalau itu malah bikin kakimu luka-luka?!"

Riki hanya tertunduk, ia yang biasanya mempunyai seribu alasan untuk membalas perkataan Jafar, kali ini terdiam tanpa sepatah kata pun mampu keluar dari mulutnya. Sorot matanya tertuju ke luka-luka di kakinya yang beberapa bahkan masih mengeluarkan darah. Tapi anehnya, Riki yang biasanya akan langsung menangis jika mendapat luka seperti itu, enggak tampak ingin mengeluarkan air mata sedikit pun. Ia terlihat acuh tak acuh, meskipun saat melewati pekarangan tadi, ia berjalan agak pincang.

Hal itu juga yang membuat Jafar makin geram. Menghadapi Riki yang seperti ini jauh lebih sulit dibanding dengan Riki yang bangornya kelewatan. Seenggaknya, saat bertingkah luar biasa menyebalkan, ada seseorang yang ditakutinya sehingga ketika orang tersebut sudah turun tangan, ia dapat dikendalikan dengan segera. Nyatanya, begitu mereka menghadapi Riki yang berubah pendiam, semuanya malah kelabakan. Tak terkecuali Jafar yang kini tengah menjambak rambutnya frustasi.

BUNGSUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang