3. Menunggu Waktu Mengikis Habis Rahasia

203 33 6
                                    

Sudah seminggu lamanya Lisya menduduki kelas 2 SMA. Lisya makin risih. Semua orang selalu saja menatapnya benci, seakan dirinya adalah pengganggu.

Mereka selalu bilang, "Mentang-mentang bisu, jadi kesayangan guru-guru."

Tunggu! Lisya tak pernah meminta disayangi oleh guru. Hanya karena Lisya tak pernah ditanyai sesuatu, guru-guru selalu dibilang pilih kasih. Tapi, apa Lisya peduli dengan perkataan-perkataan buruk tentangnya? Oh, tentu tidak. Lisya hanya risih, tak berniat membalasnya.

Seminggu lamanya pula, Anya—gadis berkaca mata yang duduk di sebelah Lisya—selalu mengajak Lisya berbicara. Maksudnya, gadis cupu itu sok akrab dengan Lisya. Entah bertanya tentang tugas, nama panjang Lisya, atau tentang jumlah keluarga Lisya.

Lisya hanya mengabaikannya. Saat Anya mengajaknya bicara, ia hanya membuka buku lalu membacanya. Saat Anya membawakan makanan, Lisya tak pernah menerimanya. Saat Anya mengatakan bahwa dirinya tak punya teman, Lisya tersenyum smirk.

Tidak memiliki teman itu lebih bagus. Dunia ini dipenuhi orang-orang yang munafik. Banyak orang mendekati Lisya hanya karena Lisya adalah orang kaya. Namun, kebanyakan dari mereka langsung menjauh, padahal tak sampai seminggu. Mereka tak kuat dengan sikap cuek gadis itu.

Tapi, berbeda dengan Anya. Seakan Anya memiliki kepala sekeras milik Lisya, ia sama sekali belum menyerah meski perlakuan Lisya membuatnya jengkel.

Dan hari ini, mood Lisya sangat buruk. Bukan karena perkataan pedas seisi kelas, bukan pula karena Anya yang sadari tadi berusaha menarik perhatiannya, tapi karena ia harus berangkat sekolah bersama abangnya.

Hari ini Gean bilang ada urusan, jadi harus berangkat lebih awal dan meninggalkan Lisya. Alhasil, Lisya terpaksa berangkat bersama Raja. Untung saja Raja tak banyak bicara. Mungkin lelaki itu sama sebalnya dengan Lisya.

Tentang Gean, ia belum melihat lelaki itu sama sekali hari ini. Apa ia tidak masuk? Tapi, mengapa Gean tidak mengatakan sesuatu pada Lisya. Ah, Lisya pusing memikirkannya.

"Baik, kita akhiri pelajaran hari ini. Bagi yang tugasnya belum selesai, bisa dijadikan PR di rumah. Ibu harap semua mengerjakan, karena besok, akan kita koreksi bersama." Bu Indri—guru matematika—berkata dengan langtangnya.

Tak lama, guru berkaca mata tebal itu keluar dari kelas, sebab bel istirahat telah berbunyi. Lisya merapikan bukunya kemudian menatanya rapi di dalam tas.

"Lisya, ke kantin, yok. Gue yang traktir." Anya berkata dengan antusias.

"Emm ... kalo lo gak mau, gapapa, kok. Gue bisa ke kantin sendiri," ucap Anya. Lisya justru asik dengan ponselnya.

"Beneran lo gak mau?" tanya Anya memastikan. Lisya menyumpal telinganya dengan earphone.

"Yakin gak ikut? Atau mau gue beliin makanan?" tanya Anya lagi. Lisya fokus pada ponselnya.

"O-oke. Gue ke kantin dulu," ujar Anya. Gadis itu tampak keluar kelas dengan wajah kecewa.

Lisya membuka aplikasi berwarna orange di ponselnya. Aplikasi itu berisi cerita-cerita yang bisa menghibur Lisya. Sembari mendengarkan musik yang terus menggema di telinganya, Lisya mulai membaca salah satu cerita.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Lisya memegangi perutnya. Tiba-tiba saja, ia merasa lapar. Gadis itu meletakkan ponselnya di meja. Saat ia ingin melepas earphone, ia melihat sebuah susu kotak berada di atas mejanya.

Ah, mungkin saja dari Anya. Lisya meneguk ludah. Ia lapar, tapi susu ini begitu menggoda. Seketika tenggorokannya terasa kering. Ia menelan ludah, berusaha untuk tidak mencomot minuman rasa coklat itu.

Cactus Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang