Duren Baru

231 28 8
                                    

Laki-laki dan seorang bocah berumur empat tahun itu tengah terduduk di samping sebuah nisan. Mengelus nama yang tertera di situ dengan penuh sayang.

"Bubu, Buna kok masih bobo di dalem situ?"

Sang Ayah mengelus surai buah hatinya, kemudian memeluk anaknya erat-erat. Menyembunyikan air mata yang tanpa sadar menetes membasahi pipi.

"Buna lagi istirahat. Buna nggak apa-apa."

"Buna begini kalena Nana nakal ya? Makanya Buna nggak mau ketemu Nana lagi."

"Nggak, Nana nggak nakal kok. Nana itu anak Bubu yang paling baik, pinter, dan sholeh. Jadi, jangan ngomong gitu lagi, ya?"

Jaemin mengangguk, "Iya, Bubu. Nana janji, Nana nggak akan nakal dan nulut telus sama Bubu."

"Anak pinter."

Keduanya bangkit berdiri. Sang Ayah membawa Jaemin ke dalam gendongannya. Sekali lagi ia menatap nisan yang telah tertanam di situ sejak 4 tahun yang lalu. Sangat disayangkan, wanita itu bahkan tidak sempat melihat wajah anaknya ketika lahir.

"Pamit dulu, Sayang. Aku bakal sering-sering ke sini sama Nana."

Mereka berjalan menuju mobil yang terparkir di jalanan samping pemakaman.

"Kampung Duren? Kayaknya di sana seru."

=======

"NDAK MAU! Ecan mau main sama Njun, sama Enyo, sama Uncong, sama... sama semuanya."

Haechan memeluk erat pilar rumahnya sambil meronta-ronta. Bertahan dari bapaknya yang berusaha membawanya pergi ke sawah.

"Ayo ikut Bapak ke sawah. Di rumah nggak ada yang jagain, Mas-masmu pada main nggak tau kemana."

"Ya udah, Ecan di lumah aja sama Dedek Alex."

Si Bapak menghela napas berat. Tangan kirinya menggendong si bungsu, tangan kanannya menyeret baju Haechan.

"Nanti kalo diculik gimana? Ayo ikut Bapak ke sawah aja."

"Ndak mau! Ecan mau main, Pak."

"Bocah ini kok rewel terus."

Seorang laki-laki dengan rambut gondrongnya yang dikuncir, berjalan masuk ke pekarangan rumah mereka.

"Walah berantem kenapa lagi nih, Pak Jon?"

Bapak menoleh, "Eh, Pak Jeonghan. Ini lho si Ecan mau saya ajak ke sawah kok nolak terus. Mumpung masih libur, saya nggak ke kantor, saya ajak lihat-lihat sawah. Tapi dia nolak terus."

"Api Han! Toyongin Ecan," rengek Haechan.

Jeonghan, duda keren satu ini membuka tempat penitipan anak di kampung. Pasalnya, dari belasan duda di RT ini, hanya dia seorang yang tidak memiliki anak.

"Ya udah sini main sama Papi Jeonghan."

Haechan langsung berlari ke pelukan Jeonghan, membuat bapaknya melotot marah. Tapi Haechan malah menjulurkan lidahnya sambil mengejek sang bapak.

"Dedek Alex semangat ya panas-panasan di sawah," seru Haechan, "Bapak nanti pulang-pulang gocong whahahahaha."

Melihat bapaknya hendak mengejar, Haechan melompat dari gendongan Jeonghan dan berlari.

Rumahnya ke rumah Jeonghan hanya berjarak dua rumah saja. Haechan langsung masuk ketika sampai di tempat penitipan anak itu.

"SELAMAT PAGI SEMUA!! ECAN DATANG!"

"Salam dulu dong," kata Jeonghan memperingatkan.

"ASSALAMUALAIKUM!"

Anak-anak kecil seumurannya dengan kompak menjawab salam. Haechan berlari  ke arah mereka satu persatu. Memberi salam pada mereka. Kadang ia peluk, ia cium, ia ajak tos, atau kadang diajak berantem.

[3] Ramadhan'21 : Kampung Duren [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang