Masih Sandal

72 17 0
                                    

Halaman mushola sore itu tampak cukup ramai. Mereka tampak sibuk mencari sesuatu di setiap sisi halaman. Bahkan ada yang memanjat pohon untuk mengambil sandal yang tersangkut.

Jeonghan duduk di teras mushola, di hadapannya ada dua bocah dengan luka di bagian tangan dan kaki.

Duda berambut panjang itu menghela napas, "Kalian berdua tuh emang ya... huft."

Kemarin malam~

"E...CAAANNNNNNNNNNNN!"

Sebuah sandal melayang di udara menuju bocah cilik yang kini berlari menjauh. Dengan lihai ia menghindar dari setiap lemparan sandal Renjun. Bahkan Haechan sempat menggoyangkan pinggul sambil mengolok-olok wajah cemberut Renjun.

"Wahahaha ndak kenaa wle!"

"Ecan jangan lali! Awas kamu!"

Renjun masih semangat membombardir Haechan dengan serangan lemparan mautnya yang kini berkolaborasi dengan sandal-sandal.

Sementara itu, bocah-bocah lainnya yang takut dimarahi mulai masuk ke mushola dan melanjutkan sholat tarawih. Tanpa menyadari ada Yunseong yang tertidur di pojokan berselimutkan sarung beralas sajadah.

Haechan berlari ke arah lapangan. Dengan air mata membasahi pipi, Renjun mengangkat sarung kecilnya dan mengisinya dengan beberapa sandal. Ia lanjut mengejar Haechan sambil terus melempar sandal.

"Ahahaha Lenjun ndak bisa ngejal aku!!"

Renjun mengusap ingusnya. Ia berlari ke mushola untuk mengisi ulang amunisi senjata sandalnya. Setelah dirasa cukup penuh, ia kembali mengejar Haechan.

Dua bocah itu saling kejar-kejaran sampai masuk ke kampung utama. Kebetulan jalanan di sana sedang diperbaiki sehingga banyak material di pinggir jalan.

Ada satu paving yang mencuat keluar dari tempatnya. Karena pandangannya terhalang sarung berisi sandal, kaki Renjun menginjak paving itu sampai ia terpeleset dan jatuh ke tanah.

"Huwaaaa~"

"Hahaha Lenjun ndak bisa nge... jal," Haechan terperanjat kala melihat Renjun telungkup di atas tanah dengan siku berdarah.

Ia langsung berbalik dan berlari menyongsong Renjun tanpa memerhatikan langkah. Kakinya tersandung pasir dan membuatnya jatuh terjerembab.

Renjun terdiam. Ia menatap Haechan yang perlahan bangkit sambil mengusap telapak tangannya yang kotor ke baju kokonya. Ia duduk kemudian menggulung celananya sampai ke atas lutut.

Haechan terkekeh, "Lutut aku beldalah sama kayak sikunya Lenjun. Hehehe."

Bibir Renjun bergetar. Ia bertanya-tanya mengapa Haechan tidak menangis padahal luka yang diterimanya lebih parah.

"Hiks... hiks... kenapa... kenapa Ecan ndak nang—is?"

"Kata Mas Jelek, cowok ndak boleh nangis," Haechan teringat sesuatu. Ia membantu Renjun berdiri dan mengajaknya kembali ke mushola, "kata Mas Jelek... kalo emang sakit, cowok boleh nangis. Hehehe."

Renjun kesulitan menahan tangis. Ia tidak mau terlihat lemah di depan Haechan apalagi setelah mendengar kalimat dari rivalnya itu. Dengan kesal, ia menggigit keras tangan Haechan dan berjalan mendahului.

"NJUNNN!! SAKITTT!!"

Waktu sekarang...

"Jelasin ke Papi, kenapa kalian sampe luka-luka gini. Berantem ya?"

[3] Ramadhan'21 : Kampung Duren [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang