Bab 8: Kausa

35 2 0
                                    

"Ka, kamu pulang jam berapa hari ini?"

"Hari ini kayaknya nada pulang telat deh yah, ada apa?"

"Oh yasudah ngga apa-apa, cuma mau kasih tahu kamu saja ayah dan ibu sudah sampai di jakarta"

"Kok ayah ngga bilang nada kalau mau pulang hari ini?"

"Iya sengaja biar kamu ngga perlu repot-repot jemput ayah dan ibu"

"Maaf ya yah,  nada ngga bisa jemput ayah sama ibu"

"Ngga apa-apa sayang, tapi nanti pulangnya jangan terlalu malam yaa..see you.."

"Iya yah nada usahain yaa..see you" kata saya membalas ucapan ayah dan seraya mematikan ponsel.

Tiba-tiba ada sesosok pria berkulit cokelat dengan tubuh atletis sedang tersenyum lebar kearah saya, gigi putihnya terlihat jelas walaupun jarak kami cukup jauh. Menyandarkan tubuhnya pada dinding dan melipat kedua tangannya di depan dada. Percayalah, dia terlihat seperti penguntit gila. Saya hanya bisa membalas senyum nya yang aneh itu dengan kekehan kecil sambil menggelengkan kepala.

Pria itu perlahan mendekati kantor meja saya, saya tahu tapi saya juga tidak peduli. Untuk apa dia selalu seperti itu tiap kali bertemu dengan saya.

"Selamat siang nyonya Arganata" katanya dengan sumringah.

"Selamat siang pak Bara" balas saya dengan sopan yang dipaksa.

"Hmm bisa saya bertemu dengan pak Angkasa?"

"Kebetulan saya bukan sekertaris pribadi pak Angkasa jadi silahkan hubungi pak Angkasa nya langsung ya pak" kata saya dengan senyum dan tatapan yang mengatakan 'hentikan'

"Saya dengar kamu benar-benar dekat dengan nya, ternyata bukan siapa-siapa ya" dengan tawa yang dia tahan sedari tadi.

Kenapa dia selalu konyol seperti ini.

"Oke sorry" sambil mengangkat keduanya tangannya seperti orang yang menyerah, saya kembali menatap layar komputer setelah melihat tingkah konyol dari sahabat Angkasa Arganata. Lagipula, kenapa juga Angkasa mau bersahabat dengan nya.

"Angkasa kenapa ngga bisa dihubungi?"

"Mana gue tahu" kata saya tetap fokus menatap layar komputer.

"Dia lagi ada masalah?"

Mengalihkan pandangan saya ke arah Bara "Hmm gatau" dan kembali fokus ke layar komputer.

"Lo ngga ketemu dia hari ini?"

"Belum"

"Nanti malam ada party dirumah gue, dateng ya. Sekalian bilang ke Angkasa juga buat ikut."

"Kan bisa bilang sendiri"

"Kan udah ada lo. Dah ya bye" pria itu melesat begitu saja. Masa bodoh. Dia memang selalu seperti itu.

--

"Nad, pulang duluan yaa"

"Iya mba Sekar"

"Nad, gue duluan ya"

"Yoo"

Satu persatu penghuni kantor meninggalkan tempatnya, ruangan itu sudah sepi. Meregangkan otot-otot yang kaku karena berkutat dengan komputer itu luar biasa enaknya. Mengecek ponsel yag sedari tadi dibiarkan begitu saja, ada beberapa pesan yang tak sempat dibalas. Seperti, pesan dari ayah yang bilang 'Gapapa, hati-hati pulangnya' saat saya mengabarinya tidak bisa pulang cepat hari ini karena pekerjaan yang tiba-tiba menumpuk.

Atau pesan baru dari Uray yang memamerkan sepatu baru yang diberikan Agil untuknya. Tapi, tak ada satu pesan pun dari Angkasa hari ini. Kadang saya membenci dii saya sendiri, mengapa ada orang munafik seperti saya di bumi ini. Berlagak menyuruh Angkasa pergi, tapi ketika dia tiba-tiba menghilang seperti ini saya kalang kabut. Suka bertanya dalam hati, 'sejak kapan jadi munafik seperti ini?'

RangkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang