Bab 4: Dua Arah

28 3 0
                                    

"Kamu hari ini pulang jam berapa ka?" kata ayah selesai sarapan pagi ini.

"Belum tahu yah, kenapa memang nya?"

"Hari ini bibi mu telfon katanya nenek sakit, kalo kamu ngga keberatan rencananya ayah dan ibu mau jenguk nenekmu sore ini"

"Nenek sakit apa?"

"Jantungnya, namanya sudah tua penyakit nya mulai sering kambuh akhir-akhir ini" kata ibu menjawab pertanyaan saya sambil membereskan piring sarapan tadi.

"Yaudah ngga papa, nada titip salam untuk nenek dan bibi disana ya, sampaikan maaf nada belum bisa jenguk nenek. Ayah sama ibu juga hati-hati dijalan ya"

"Iya, jaga adik mu yaa, mungkin paling lama seminggu disana"

Saya menganggukan kepala tanda mengerti. Dulu ketika saya masih tinggal di jogja nenek memang pernah masuk ke rumah sakit untuk waktu yang cukup lama. Nenek itu orang terkuat yang pernah saya temui, dia bisa tetap hidup walaupun benda asing berada di tubuhnya, sayangnya nenek tidak bisa memberikan menantunya mantra untuk tetap hidup sepertinya.

"Aku berangkat dulu ya yah, bu" kata saya mencium tangan mereka berdua.

"Ngga bareng ka angkasa?" kata dino.

"Angkasa bukan supir pribadi, dino" kata saya tersenyum sambil berlalu pergi berangkat ke kantor.

--

"Nad, di panggil pak angkasa ke ruangannya tuh" kata salah satu teman kantor bernama Naya. Saya mengangguk meng'iya'kan perkataannya. Saya langsung bergegas menuju ruangan angkasa. Ketika mengetuk pintu sebagai etika bawahan kepada atasannya saya membuka pintu dan memperlihatkan angkasa sedang berbincang dengan seorang gadis, cantik.

Angkasa yang sadar dengan keberadaan saya mengalihkan pandangannya dan tersenyum ke arah saya. Wanita yang mungkin seumuran dengan angkasa itu juga menoleh ke arah yang sama seperti angkasa, memperlihatkan senyumnya yang bisa memabukkan pria manapun.

"Ah kemari nad, saya perkenalkan dengan gadis cantik ini" kata angkasa menyuruh saya masuk yang sedari tadi diam didepan pintu. Wanita itu hanya terkekeh mendengar perkataan angkasa.

"Ini Azel, Azela Rahma. Sahabat kecil saya" kata angkasa memperkenalkan wanita itu kepada saya.

"Nada.. " kata saya tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan.

"Azel.."  katanya membalas uluran tangan saya. "Jadi kamu nada yang sering angkasa bicarakan itu.. Cantik.."  katanya melirik ke arah angkasa.

"Jadi bukan hanya kamu kan zel perempuan cantik di bumi ini?" kata angkasa menggoda azel.

"Iya iyaa, saya kalah kali ini" kata azel tersenyum begitu pula dengan saya.
Angkasa meminta saya untuk makan siang bersama dengan azel, saya pun tidak ada alasan untuk menolaknya. Sebenarnya rencana pertama angaksa ingin mengajak saya makan malam dengan azel, tapi saya menolaknya dengan alasan ingin pulang cepat untuk menemani dino yang sendiri dirumah karena ayah dan ibu sedang tidak dirumah. Walaupun sebenarnya dino juga tidak apa jika saya pulang larut karena hal itu, tapi angkasa dan azel sepertinya perlu waktu bersama untuk menghilangkan rasa rindu setelah tidak bertemu sekian lama.

Dari cerita wanita itu, dia dan angkasa adalah sahabat sejak kecil, rumah mereka bersebelahan sehingga membuat keluarga mereka dekat, tepatnya ibu mereka. Akhirnya ketika azel dan angkasa lulus SMA mereka harus berpisah karena azel harus pindah ke Sydney untuk kepentingan bisnis orang tua nya dan melanjutkan studi nya disana, sekarang dia kembali kesini seorang diri untuk menjalankan pekerjaannya sebagai model yang sudah cukup terkenal.

Untuk pertemuan pertama dengan azel, saya menyukai wanita itu. Dia cantik, ramah, dan juga hangat.  Mungkin jika saya laki-laki saya akan jatuh hati padanya untuk pandangan pertama. Apa angkasa tidak merasakan itu sebagai seorang laki-laki?

Setelah menyelesaikan semua urusan kantor, saya pulang dan mendapati dino yang sedang menonton tv diruang tamu, lebih tepatnya tv yang sedang menonton nya bermain gadget.

"Tumben pulang cepet" kata dino masih fokus dengan ponsel ditangan nya.

"Nanti kamu kesepian.. " kata saya mengistirahatkan diri di sofa.

"Ka.."  panggil dino tiba-tiba.

"Hmm" dengan mata tertutup. Sepertinya pekerjaan kantor akhir-akhir ini cukup melelahkan.

"Ka nada pernah pacaran ngga sih waktu sekolah dulu?"
Pertanyaan dino membuat saya membuka mata dengan cepat. Saya diam seketika mengingat masa itu.

"Di tanya malah ngelamun, pernah ngga? "

"Kamu udah punya pacar ya?"  tanya saya mengalihkan pertanyaan nya.

"Belum sih.." katanya dengan nada memelas.

"Siapa orangnya?"

"Namanya Binta, teman satu kelas waktu kelas satu kemarin.. Aku udah suka dia waktu pertama masuk sekolah, kata teman nya dia juga suka aku.. Dia baik, cantik, ceria, walaupun galak kalau sama yang lain, terus aku harus gimana ka? Kira-kira aku boleh pacaran ngga ya sama ayah, ibu? " tanya nya yang lebih seperti bertanya kepada dirinya sendiri.

"Kalau kamu punya perasaan yang baik ke binta, kakak rasa boleh-boleh aja.. Tapi punya perasaan baik itu kan ngga perlu di tunjukin dengan pacaran, ada banyak hal baik buat buktiin itu. Kalau emang binta punya perasaan yang sama kayak kamu, dia pasti paham kok"

"Intinya ngga boleh kan?"

"Ya terserah kamu, paling kamu di ceramahin ayah.. Anak SMA udah gaya-gayaan pacaran.." kata saya meledek dino yang sedang memikirkan perkataan saya tadi, sepertinya.

"Kata aldin, punya kakak perempuan tuh kayak punya ibu dua, marah-marah mulu, bawel, suka nyuruh-nyuruh lagi. Walaupun benar, tapi dino ngga pernah nyesel punya kakak kaya kakak.. Ternyata gini yaa rasanya punya kakak.. hehe" katanya yang membuat saya semakin menyayangi nya.

"Ngga usah geer ka, itu sebagai tanda terimakasih aja udah mau dengerin curhatan aku" katanya beranjak dari sofa.

"Bayarannya bawain es krim ke kamar kakak yaa" dengan cengiran maut.

"Emang udah paling benar kata-kata aldin" katanya menggerutu sambil berlalu pergi.
Saya juga ngga pernah nyesel nerima kamu dirumah ini, din. Terimakasih untuk rasa sayang nya, terimakasih untuk tidak memiliki batasan karena perbedaan. Saya rasa, mama juga akan setuju kalau saya memiliki adik seperti kamu, din.

--

Walaupun menggerutu dia tetap membayarnya sesuai permintaan, satu es krim cokelat kacang sudah berada di atas meja kamar dengan cantik. Mungkin dia menaruhnya saat saya sedang mandi tadi, jika perlakuan nya seperti ini tidak salah binta menyukai anak itu.

Dering ponsel berbunyi saat saya dengan santai menyantap es krim, Dari Angkasa.

"Hallo" katanya lebih dulu.

"Ada apa?"

"Sudah dirumah?"

"Sudah, kamu mengganggu saya makan es krim"
Terdengar suara tawa di seberang sana.

"Azel titip oleh-oleh untuk mu tadi, dia lupa kasih katanya.. Saya mau antar sekarang tapi tiba-tiba bara kerumah, saya ngga tahu harus apa nad kalau laki-laki nangis karena putus cinta" Katanya dengan tawa puas, saya bisa mendengar bara mengucapkan kata 'bajingan' setelah angkasa mengatakan itu pada saya.

"Ya sudah besok saja di kantor, saya mau tidur"

"Oke besok saya jemput kamu, kita sarapan sama-sama dirumah kamu bareng dino ya.. Kamu ngga perlu siapain, saya yang bawa nanti"

"Oke"

"Oke.. Selamat malam, nad" katanya mengakhiri perbincangan kami di telepon.

Selalu ada hal yang membuat saya tersenyum karena manusia itu. Seharusnya saya benar-benar bersyukur dengan keberadaan angkasa, dia terlalu sering menjadi obat untuk saya. Tapi semakin saya bersyukur, saya semakin merasa bersalah. Saya tidak bisa membayangkan jika saya menjadi dia, apa dia tidak pernah menangis seperti bara? Menangis karena cinta. Kalau iya, sesering apa dia melakukannya? Atau sesering apa dia menahannya?

Sudah saya bilang..

Bukankah menyerah lebih baik untuk nya dari pada bertahan?

RangkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang