Setelah angkasa bilang bahwa dia takut saya bertemu dia ditempat menyenangkan, angkasa tidak ingin menemui saya selama dua hari, katanya..
"Dua hari sepertinya cukup untuk menghilangkan rasa takut ini, saya juga ngga bisa lama-lama ngga liat kamu""Kenapa?"
"Takut lupa wajah kamu"
Angkasa memang begitu, dia tidak akan melihat wajah seseorang ketika sedang merasa takut akan suatu hal yang menyangkut orang itu. Ketika masalah dengan bundanya terjadi, angkasa memilih untuk tinggal sendiri. Dia bilang dia tidak ingin egois seperti dulu, dia tidak ingin rasa takutnya menghilangkan kebahagiaan bundanya. Sejauh yang saya tahu, dia begitu hanya kepada bundanya dan saya saja. Tidak ingin percaya diri, tapi angkasa bilang begitu. Saya pernah bilang padanya bahwa dia itu pengecut, tapi dia bilang.."Tidak apa-apa, dengan begitu saya tahu bahwa saya rindu ketika tidak melihatnya, bahwa saya sangat membutuhkan orang itu. Pada akhirnya rasa takut itu kalah dengan rasa cinta saya pada orang itu.. Saya tidak ingin rasa takut itu membuat saya kehilangan nya"
Entahlah, saya tidak pernah mengerti apa isi kepalanya, atau mungkin saya yang tidak ingin mengerti.
Setelah dua hari itu, angakasa menelfon pagi-pagi buta, dia bilang akan menjemput saya untuk berangkat bersama ke kantor. Lucunya, hidup ini sangat ahli mempermainkan saya. Dia benar-benar membuat saya sangat dekat dengan angkasa walaupun saya tidak ingin. Saya sudah bersyukur ketika angkasa lulus lebih dulu dan membuat kami berjarak untuk bertemu. Walaupun tidak, setelah dia lulus dia masih mengganggu saya dikampus walaupun tidak sesering waktu kami masih satu kampus. Dan sekarang, saya harus bekerja ditempat yang sama dengan angkasa. Tidak seperti sebuah kebetulan kan?"Ka angkasa udah nunggu dibawah tuh" pintu kamar terbuka dan memunculkan dino dibalik pintu.
"Iya, suruh tunggu sebentar"
"Emang kalo manager harus dateng pagi-pagi banget yaa?"
"Tanya aja sama orangnya" Dino menutup pintu kembali dengan wajah herannya. Bagaimana tidak heran, saya yang biasanya berangkat jam 7 dari rumah harus lebih awal satu jam kalau angkasa yang menjemput, padahal kantor kami bekerja tidak terlalu jauh dari rumah saya, saya juga tidak tahu alasannya.
"Ayah, ibu.. Nada berangkat dulu yaa"
"Loh ajak angkasa sarapan dulu disini" kata ayah sambil melihat angkasa yang duduk diruang tamu.
"Iya ka, ini ibu juga hampir selesai kok masaknya"
"Ngga apa-apa, nanti nada sarapan dijalan.. Ngga enak juga angkasa udah nunggu"
"Yaudah hati-hati yaa"
Setelah saya dan angkasa berpamitan, kami menaiki mobil angkasa yang sudah terparkir di depan rumah. Saya tersenyum melihat angkasa mengingat perkataan dino tadi, kalau di pikir-pikir orang malas nomor dua seperti dia untuk apa pergi sepagi ini ke kantor? . Saya memang tidak pernah menanyakan nya, tapi sedikit penasaran juga."Kenapa senyum?"
"Tidak boleh?"
"Sangat boleh, tapi tidak seperti biasanya"
"Kata dino, memang nya kalau manager harus berangkat sepagi ini?" Saya tidak bisa menyembunyikan tawa saya sedari tadi.
"Itu pertanyaanmu atau dino?"
"Kami berdua" saya masih tertawa menunggu jawabannya, angkasa juga seperti menahan tawa. Gengsinya memang terkadang lebih tinggi.
"Saya juga ngga tahu jawabannya, kalau saya jemput kamu rasanya ingin buru-buru saja"
"Kalau saya berangkat sendiri juga kamu datang lebih awal, katanya orang pemalas nomor dua tapi ternyata rajin pergi ke kantor"
"Kalau berangkat pagi denganmu bisa sarapan berdua dikantor seperti difilm-film.. Kalau ngga, saya bisa tidur dulu dikantor.. Saya rasa tidur dikantor lebih enak ketimbang dirumah.. Rasanya saya harus bilang atasan untuk meminta izin pindah ke kantor"
"Memangnya kantor punya nenek moyang mu"
"Punya om saya"
Tidak salah, angkasa memang paling benar. Benar-benar menunjukkan kesombongan nya, meski begitu dia menolak untuk diberi jabatan sebagai direktur utama untuk menggantikan om nya yang sudah berumur dan sakit-sakitan. Dia memilih untuk menempati posisi sesuai dengan kemampuan nya saat ini, dengan begitu dia akan sukses dengan usahanya sendiri, katanya.Setelah sampai di kantor dan sarapan bersama dikantor yang di bawa angkasa, kami menjalankan kehidupan kami masing-masing. Memang seharusnya seperti itu, angkasa yang sibuk dengan tugasnya sebagai atasan saya, dan saya dengan tugas saya sebagai karyawan biasa.
Ketika dikantor rasanya waktu berjalan begitu cepat, memang benar kata angkasa.. Walaupun melelahkan tapi di kantor memang lebih enak apalagi untuk mempersingkat waktu.Setelah selesai pekerjaan dikantor angkasa menemani saya untuk membeli hadiah pernikahan teman SMP yang tidak sempat saya beri selamat karena sibuk menyembunyikan diri. Dia juga menemani saya untuk berkunjung ke rumah Ayu dan Azzam si pengantin waktu itu untuk memberikan hadiahnya secara langsung.
"Dunia sempit banget ya, Nad. Suami gue ternyata temennya pacar lo" kata ayu yang sudah seperti ibu-ibu pkk.
"Bukan pacar" Sanggah saya sambil membantunya membersihkan piring-piring sehabis makan malam bersama. Sementara angkasa dan azzam sedang mengobrol diruang tamu.
"Kalau bukan pacar apalagi? Eh nad, lo udah tahu belum?"
Saya hanya menggeleng pelan, tidak terlalu tertarik dengan apa yang ingin ayu sampaikan."Lo udah tahu belum keenan udah pulang ke jakarta?"
Saya diam seketika, tanpa sadar disihir bak patung setelah mendengar nama itu. Nyatanya, setelah bertahun-tahun saya masih belum bisa baik-baik saja ketika mendengar namanya.
Saya dan angkasa pulang lebih cepat dari perkiraan. Sebenarnya saya ingin lebih lama disana, ingin bernostalgia dengan ayu ketika zaman SMP dulu tapi kabar tentang keenan yang mendadak itu membuat saya ingin pulang dan tidur lalu bangun dengan ingatan yang hilang tentangnya."Kamu bilang ingin lebih lama di rumah ayu" Kata angkasa sambil menyetir, saya tahu angkasa mencemaskan saya.. Saya sering melakukan ini tapi apa dia akan baik-baik saja kali ini?
"Tiba-tiba tidak enak badan"
"Saya memang bisa membaca pikiran mu tapi tidak dengan perasaan mu"
Saya tetap diam sampai tidak terasa angkasa sudah memarkirkan mobilnya didepan rumah saya.
"Saya pastikan besok kamu akan baik-baik saja, nad" kata angkasa saat saya hendak keluar dari mobilnya.
"Lakukan sampai kamu bisa, sa"
Membenamkan wajah di bantal dan menjatuhkan diri di kasur yang nyaman setelah selesai membersihkan badan seharusnya hal yang paling menyenangkan bagi saya. Saya sangat membenci nya, rupanya bukan hanya kepergiannya yang membuat saya hancur.. Kedatangannya juga. Sebetulnya dia hanya datang untuk kota nya, tidak ada yang salah.. Hanya saja kedatangannya membuat saya menjadi pengecut untuk kesekian kalinya. Bagaimana jika saya bertemu dengannya? Bagaimana jika saya belum bisa membencinya? Bagimana jika angkasa..
Angkasa, bagaimana perasaannya? Haruskah dia benar-benar beristirahat kali ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rangkai
Художественная прозаKalau saja Nada bertemu Angkasa lebih dulu, semua pasti baik-baik saja. Atau mungkin, lebih baik jika tidak bertemu Angkasa sama sekali.