Bab 3: Mutiara Dan Ombak

33 3 0
                                    

Tiba-tiba sebuah pesan masuk datang dari angkasa

Saya ngga bisa jemput kamu besok, tapi kita bisa pergi ke tempat menyenangkan selesai ngantor
-Atasan tampan

Angkasa memang tak kenal waktu untuk urusan menghibur, saya iri padanya yang dengan cepat menjadi biasa saja setelah ombak mengahantamnya dengan sadis. Kadang dia itu manusia, kadang juga bukan.. Saya lupa kalau hantu itu bisa merubah wujudnya.

Keesokan hari yang datang dengan lambat karna mata tak mau terpejam semalam suntuk, membuat saya hilang gairah dikantor. Jika boleh, saya ingin tidur saja di kamar. Angkasa juga tidak kelihatan batang hidungnya, biasanya walaupun kami jarang berinteraksi dikantor tapi dia akan selalu menemui saya untuk mengatakan hal-hal yang tidak penting, seperti cuaca yang terik karena Bara (teman angkasa) datang ke kantor atau menu baru di kantin yang kurang bumbu. Saya tidak tahu apa yang dia rencanakan tapi tanpa sadar, saya mungkin menantikan rencananya itu.

"Halo" kata saya mengangkat telepon dari Uray, sahabat sedari SMA yang sampai sekarang selalu ada kapanpun saya butuh selain angkasa.

"Nad, nanti malem makan yuk di luar.. Sekalian gue mau kasih info penting buat lo"

"Info apa? "

"Ngga bisa kalo dari telfon"

"Yah, ray.. Tapi ngga bisa kalau sekarang, gue udah ada janji sama angkasa malam ini, tapi kalau gue bisa nanti gue hubungin lo lagi deh"

"hmm yaudah deh.. Nanti aja kita full day berduaan yaa, yaudah gue mau meeting lagi nih, dahh nad.."

"Daaahh"

Kata angkasa, Uray itu malaikat yang datang sebagai kanvas buat saya. Bukan sebagai warna, karna katanya warna hidup saya itu cuma saya sendiri yang bisa nentuin, uray itu kanvas yang dengan sukarela kotor buat jadi tempat saya ngeluarin warna yang ada diri saya. Saya membenarkan itu, Uray memang yang terbaik selain angkasa.
Hari sudah sore, pekerjaan juga tersisa sedikit yang mungkin bisa dikerjakan esok. Akhirnya angkasa menampakan wajahnya setelah hilang dari mata saya.

"Yuk" ajaknya sumringah.

"Kemana?"

"Jangan mentang-mentang chat saya cuma di read aja kamu jadi ngga tau apa-apa ya, udah ayo"
Saya hanya tersenyum mengikutinya dari belakang menuju lift. Siapa sangka, bukannya turun dia malah menekan tombol naik ke lantai paling atas.

"Kok ke atas?"

"Suka-suka saya, kan saya yang ngajak" jawabnya dengan santai.
Angkasa mengajak saya ke arah rooftop gedung ini, saya tidak ingin bertanya lagi jadi lebih baik saya ikuti saja kemauan nya.
Setibanya ditempat tujuan, saya tersenyum melihatnya. Tenda dan pernak-perniknya seperti studio foto yang pernah saya lihat dan sofa panjang menghadap pemandangan ibu kota.

"Mau berdiri terus?" kata angkasa yang sudah duduk di sofa tanpa saya sadari.

"Sini.. " katanya menepuk sisi kosong dari sofa itu. Saya pun mengikuti permintaannya, duduk disebelahnya memandangi kota yang riuh namun senyap dari atas, merasakan angin yang mulai menusuk tulang tapi mengesankan.

"Kalau dia datang memangnya kenapa?"
Kata angkasa tersenyum tanpa melihat lawan bicaranya. Saya menatapnya dengan heran, apa dia sedang membicarakan keenan? Dari mana dia tahu kabar itu? Ah.. Pasti ayu.

"Iya saya tahu dari ayu, dia meminta maaf karna tidak bisa menahan mulutnya.. saya rasa tidak usah dimaafkan, dia malah melempar ke saya untuk menghibur mu"

RangkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang