"GAK ADA KATA NYESEL. SEKALI LO MASUK SINI, GAK CELAH BUAT KELUAR!!"
Cyan merasakan rasa kesal teramat sangat ditambah penyesalan mendengar bentakan tersebut. Ini semua salahnya, tidak seharusnya dia berkata tertarik saat itu.
Suara teriakan serta bentakan melengking dari senior perempuan masih terdengar bersahutan. Besar kemungkinan guru atau murid lain melihat kejadian ini. Namun, mereka seperti tidak peduli, padahal wilayah ini hanya berjarak beberapa meter dari gedung sekolah.
"MULAI BESOK, GUE GAK MAU TAU GIMANA CARANYA YANG CEWEK GAK BOLEH PAKE SERAGAM SESUAI UKURAN, HARUS KEDODORAN!"
Cyan membelalak tidak terima. Lah lo kira duit dateng tiba-tiba?
Suara benda ditendang, dilempar, dan dibanting ke permukaan tanah sampai pecah mulai terdengar, membuat suasana semakin menegangkan. Cyan tidak bisa memastikan barang apa itu, ia terlalu takut mendongak, takut juga untuk mengambil risiko.
"Buat yang cowok, lo semua ikut gue."
Dapat didengar Cyan dan seluruh siswi kelas sepuluh yang menunduk dalam-dalam, derap langkah mulai terdengar menjauh. Entah ke mana senior laki-laki membawa para siswa.
"GAK USAH PAKE MAKE UP JUGA, LO SEMUA MASIH SETARA SAMA BUDAK!!"
"GAK PANTES!!"
Kalau dengan suruhan itu, Cyan masih bisa terima. Toh, dia bukan tipe perempuan yang no make up no life. Cyan mau saja berpenampilan natural. Selain itu, dia juga tidak terlalu bisa menggunakan alat make up yang aneh-aneh. Akan tetapi, ia tetap berpendapat bahwa ini semua tidak adil.
Pelan-pelan, Cyan menolehkan kepala ke samping kiri, melirik perempuan yang mulai terisak. Cyan yakin siswi tersebut tidak biasa dibentak-bentak. Kasihan. Untung dia sudah terbiasa dibentak Hazel.
"GUE BILANG NUNDUK YA NUNDUK, GAK USAH NOLEH SEGALA. MAU NYARI APA LO?!"
Tentu Cyan yang dimaksud siswi kelas dua belas itu. Cyan langsung menunduk, tapi dagunya diangkat, dipaksa menghadap perempuan dengan iris mata berwarna hijau—jelasnya palsu alias softlens—yang memancarkan pendar marah.
Mati gue, matiiii!!
Di sekitar siswi itu, agit lain mulai mendekat. Ada yang bersedekap dada, tersenyum sinis, memutar bola mata malas, dan menyeringai lebar. Cyan takut sekali, tapi tunggu, perempuan yang berdiri tepat di depannya itu seingat Cyan merupakan kakak kelas yang memanggil laki-laki ber-hoodie hitam dengan nama Aiden. Seingatnya juga, dulu gadis itu ramah. Sedikit memancarkan aura galak memang, tapi tidak separah sekarang.
"Lo yang tadi telat, hm?"
Merasa tidak nyaman, Cyan menurunkan pandangan, menatap rok putih selutut dengan sorot canggung lagi kikuk. "Maaf, Kak."
"Liat gue."
Cyan masih enggan, lagipula kata salah seorang siswi kelas dua belas, siswi kelas sepuluh harus menunduk saat berhadapan atau sekadar bertemu dengan murid kelas dua belas yang merupakan anggota komunitas. For your information, tanda bahwa murid tersebut termasuk aud atau agit Dalasnaga dapat dilihat dari penampilan atau gaya berpakaian yang mencolok, nyentrik, dan beberapanya malah tidak sesuai aturan.
"GUE BILANG APA TADI? LIAT GUE!"
Tersentak dengan bentakan itu, Cyan melirik name tag perempuan tersebut. Vinessa Ayudya. Tak berlama-lama, ia menatap wajah cantik siswi di depannya, tapi tidak sampai melakukan eye-contact. Ia masih punya rasa takut.
Terdengar decihan dari bibir Echa—begitu ia bisa dipanggil—sebelum gadis itu mendorong dagu Cyan yang sedari tadi dipegangnya dengan amat kasar, sampai-sampai Cyan sedikit terdorong ke belakang. Enggan dimarahi lagi, Cyan langsung menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
DALASNAGA
Fiksi RemajaDalasnaga itu sisi paling gelap dari SMA Garuda Asa. Tampak seperti geng motor di mata masyarakat umum, tetapi aparat keamanan menyematkan julukan khusus yaitu gangster sekolahan. OTB atau Organisasi Tanpa Bentuk, itulah yang sering alumni akui. Sed...