11. Milik Pribadi, Katanya

1.9K 284 18
                                    

Cyan dari tadi menggerutu sambil menaiki tangga untuk menuju lantai dua. Di sini, hanya ada murid kelas sebelas. Ingat hukum utas poin ke-dua, Cyan merasa tidak perlu berjalan menunduk apalagi bersikap sopan, masa bodo saja dengan kakak kelas bertampang angkuh yang menatapnya sinis. 

"Nyesel gue ngira Kak Jay itu baik, ternyata nyebelin banget," gerutu Cyan, "sama aja kayak Kak Seta."

Gadis itu berhenti menggerutu, pikiran sialannya mengarah pada Seta sekarang. Tempo hari—ketika senam pagi di hari sabtu—Seta berkata telah tertarik kepadanya, tetapi sekarang tidak ada kabar. Cyan jadi curiga kalau Seta menerapkan trik pendekatan model tarik-ulur yang sangat dibencinya.

Sebelum menaiki tangga menuju lantai tiga alias tempat di mana semua murid kelas dua belas belajar, Cyan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan, bersiap bertemu dengan para agit.

"Eh, si cantik kok nunduk? Nanti mahkotanya jatuh loh."

"Nunduk aja keliatan cakep, good looking emang BEDA!"

"Utas yang ini emang ckckck, kalah si Echa."

"Dia pasti salah alamat, harusnya ke surga malah nyasar ke neraka dunia."

"Dokter bedah di korea ramah-ramah gak?"

"Lah si anjir, ngapa lo nanya gitu."

"Siapa tau kena jarum suntik tuh muka. Jadinya kalau mau ngegas percuma, ngerusak keturunan, HAHAHAHA!!"

Sembari melewati gerombolan siswa, Cyan mengeraskan rahangnya, tapi tetap menunduk, menggumamkan kata permisi berulang kali sesopan-sopannya. Beruntung ekspresi penuh emosi itu tidak terlalu terlihat karena tertutupi beberapa helai rambut.

Jurusan IIS terletak tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Nasib baik, jadi Cyan tak perlu melewati gerombolan para siswa yang sepertinya lebih bar-bar dalam hal menggoda di seberang sana.

Sebetulnya, Cyan heran, di sini sudah banyak guru lewat, tetapi mereka seolah abai, tak peduli dengan anak didiknya meski sangat meresahkan. Bahkan, gerombolan siswa kelas dua belas itu malah menggoda guru perempuan, sok akrab pada guru lelaki juga—memanggil tanpa embel-embel pak di depan orangnya langsung. 

Sesampainya di kelas yang dituju, Cyan menggerakkan tangannya untuk mengetuk pintu. Namun, suara seorang gadis membuat gerakan tersebut urung.

"Ngapain lo di sini?!"

Cyan sedikit tersentak. Dengan penuh rasa malas, kepalanya ditundukkan semakin dalam mengingat pemilik suara ini adalah si angkuh Vinessa. "Maaf, Kak, saya dipanggil sama Kak Jay."

"Oh," balas Vinessa singkat. Meneliti penampilan Cyan dari atas ke bawah hingga berulang kali, ia membelalak marah. "GUE UDAH BILANG, KALAU RAMBUT LO PANJANG, HARUS DIKUNCIR SATU PAS SENIN SAMPE RABU. SEKARANG HARI APA?!"

Kapan lo bilangnya?!

"MASIH UTAS KEBANYAKAN GAYA! BIAR APA?!!"

Demi apapun, hasrat Cyan untuk membuat pita suara Vinessa tak berfungsi membuncah begitu besar, bahkan lebih dari sebelumnya. Mengepalkan kedua tangan, Cyan masih belum berucap apa-apa, takut kelepasan emosi. Seorang Cyan Galexia Crystalie, sangat tidak suka dibentak-bentak secara face to face di muka umum, apalagi sampai mengundang banyak murid untuk menonton.

Di situasi ini, yang tentu bersalah adalah Jay. Kalau saja pemuda menyebalkan itu tidak memaksanya pergi ke kelasnya ini, telinga Cyan tidak akan pengang karena bentakan menggelegar dari Vinessa. Gadis itu juga tidak akan menanggung rasa malu.

DALASNAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang