Kesabaran

4.5K 338 20
                                    

Tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku terpaksa menjual perhiasan terakhir yang kumiliki. Tubuh Lita demam sejak semalam dan mengalami kejang. Aku membawanya ke bidan, tapi bidan tak mau menangani karena takut, dan bidan merujuk untuk ke rumah sakit. Tak ada pilihan lain, aku terpaksa membawa Lita ke rumah sakit bermodalkan pasrah. Urusan biaya selanjutnya, aku akan mengusahakan. Yang terutama adalah kesembuhan Lita.

Air mata masih mengalir di pipi membersamai rasa sedih karena nasib seakan mengacaukan hidupku. Ujian datang silih berganti. Kemarin perceraian dengan Mas Muklas, dan sekarang Lita mengalami sakit.

"Kamu nggak ke rumah Muklas? Lita sakit, dan dia harus ikut tanggung jawab karena Lita masih tanggung jawabnya." Ibu membuka suara.

Entah. Aku masih belum berpikir ke arah sana. Masih ingat dengan ucapan Mas Muklas jika dia sudah tak peduli pada kami. Harapanku untuk rujuk dengannya pun pupus karena dia sudah menikah dengan Heni. Mas Muklas menikahi Heni karena Heni hamil di luar nikah. Apakah aku harus bersyukur karena sudah diceraikan Mas Muklas? Atau aku harus bersedih karena tak bisa kembali pada Mas Muklas?

"Kalau kamu nggak mau menemui Muklas, maka Ibu yang akan ke sana dan minta dia buat ikut bantu ringanin biaya rumah sakit Lita." Ibu kembalu bersuara.

"Nggak usah, Bu. Percuma kalau Ajeng ke sana." Aku angkat suara.

"Kamu belum ke sana, Nduk, jadi nggak ada salahnya dicoba. Siapa tau Muklas mau kasih." Ibu menimpali.

"Akan Ajeng pikirkan nanti," balasku malas.

Tatapanku masih tertuju pada gadis kecilku yang terbaring lemah. Dia masih belum bangun dari tidurnya. Aku merasa bersalah dengannya karena terlambat membawanya untuk berobat.

Ya Allah, sembuhkan anakku. Dia yang berharga untukku saat ini. Aku tak ingin melihatny seperti ini. Aku rindu cerianya. Beri aku jalan dan kesabaran untuk menghadapi semua ini.

Tak ada harapan terbesar dalam hati kecuali kesembuhan Lita. Mungkin aku akan mendatangi Mas Muklas untuk minta tambahan biaya rumah sakit Lita. Aku sudah tak punya apa-apa lagi saat ini. Cincin pernikahan kami pun sudah kujual untuk biaya rumah sakit Lita. Aku seharusnya tak menjual cincin itu. Mas Muklas tak meminta cincin itu dikembalikan, dan aku tak ingin cincin itu dikembalikan. Sekarang cincin itu tak bisa kupertahankan, dan tidak kukembalikan, tapi justru dipakai untuk pengobatan Lita.

***

Satu jam lebih aku menempuh perjalanan dari rumah orang tuaku sampai rumah Mas Muklas. Aku memang rindu dengan rumah ini. Sangat rindu. Apa daya takdir menginginkan aku meninggalkan rumah ini.

Kaki kugerakkan untuk mendekati pintu rumah. Tanganku terangkat untuk mengetuk pintu. Sejenak terdiam, lalu menghela napas. Tanganku kembali bergerak mengetuk pintu.

"Mas Muklas!" seruku sambil mengetuk pintu.

Tak ada jawaban. Tanganku masih mengetuk pintu, dan mulut masih mengeluarkan nama Mas Muklas.

"Siapa  sih?!"

Gerakan tanganku terhenti ketika mendengar suara Heni dari dalam. Pintu pun terbuka. Sosok Heni berdiri di balik pintu.

"Aku mau ketemu Mas Muklas," ungkapku tanpa tadah aling-aling.

"Nggak ada. Dia nggak di rumah," balasnya jutek. "Lagian ngapain lagi ke sini? Kamu sudah bukan siapa-siapa lagi di sini." Heni mencemooh.

"Lita sakit. Aku mau minta tanggung jawab Mas Muklas sebagai ayah Lita." Aku berterus terang.

"Nggak salah? Kamu yang minta hak asuh Lita, ya kamu harus tanggungjawab sendiri. Kalau udah nggak bisa urus Lita mending kasih ke sini, terus aku masukin dia ke asrama. Gampang, 'kan?"

Aku mengeratkan gigi. Sekarang dia berani berkata seperti itu padaku. Tak ingatkah saat dia datang ke rumah ini dan minta bantuan padaku? Sekarang justru dia menghancurkan apa yang kubina selama tujuh tahun. Aku benci dengannya.

"Kenapa? Sudah sadar?"

Perhatianku teralih padanya. Tatapanku menusuk matanya. "Aku sadar. Kamu memang bukan teman baik, tapi lebih dari jahat."

Dia tersenyum mengejek. "Kalau sudah nggak ada keperluan, mending pergi dari sini. Aku sibuk."

"Ada barang-barang Lita yang mau aku ambil dan aku pastikan nggak akan kembali ke sini," kataku.

"Oke. Syukur belum aku kasih ke tukang rongsok. Ambil semuanya rongsokan itu di gudang."

Aku masuk ke dalam rumah itu, dan tak sengaja bahu kami bersenggolan. Tak peduli. Aku harus membawa barang-barang milik Lita. Aku sudah menduga jika Mas Muklas tidak akan tanggung jawab mengenai Lita. Tujuanku saat ini adalah celengan milik Lita. Saat itu, aku mengajarinya untuk menabung, dan setiap Mas Muklas memberi uang padanya akan dimasukkan ke dalam celengan itu. Berapa pun jumlahnya yang diberikan, maka dia akan memasukkannya. Aku tak akan mengemis pada mereka untuk meminta bantuan. Selain itu, aku akan membawa pakaian Lita dan mainan miliknya. Setidaknya akan membuat Lita sedikit senang.

Ingatanku tertuju pada barang berharga. Mata masih mencari benda kotak yang kusimpan di kamar Lita. Semua barang-barang di kamar Lita ada di sini, jadi kotak itu pasti ads di sini.

"Jangan lama-lama. Aku mau pergi." Heni masih mengawasiku. Dia berdiri di depan pintu.

Pandangan masih kuedarkan untuk mencari kotak itu. Di sana ada perhiasan Lita saat masih bayi. Aku bisa menjualnya untuk meringankan biaya rumah sakit Lita. Aku bernapa lega ketika kotak itu kutemukan. Senyum tak hentinya mengembang di wajahku. Kuraih kotak itu tanpa menunggu lama. Kumasukkan celengan dan kotak itu ke dalam tas bayi. Hanya tas ini yang ada. Aku tak boleh membuang waktu di sini.

Kulangkahkan kaki untuk meninggalkan gudang ini. Heni menatapku. Dia tersenyum mengejek.

Langkahku terhenti. "Aku hanya ingin mengingatkanmu, bahwa perbuatan jahat akan selalu mendapat balasan yang setimpal." Aku melanjutkan langkah setelah mengatakan hal itu pada Heni.

"Kamu kira aku percaya? Nikmati saja hidup blangsakmu. Aku sudah bahagia hidup dengan suamimu." Dia mengejek.

Kamu boleh nggak percaya, tapi aku percaya kalau Allah bakal balas apa yang sudah kamu lakukan sama aku dan Lita. Doa orang trraniaya itu tak akan pernah meleset. Aku nggak doain apa-apa, tapi aku mau Allah balas sesuai apa yang aku rasakan.

Aku meninggalkan rumah itu. Pikiranku saat ini adalah Lita. Bagaimanapun dia harus sembuh. Aku harus ke toko perhiasan untuk menjual emas yang kusimpan.

Semoga suatu saat Mas Muklas menyesal karena sudah menceraikan aku dan lebih memilih Heni. Semoga mereka menyesal karena sudah membuatku seperti ini. Jika tidak? Semoga Allah memberi mereka pelajaran agar sadar diri.

 Jika tidak? Semoga Allah memberi mereka pelajaran agar sadar diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menolak Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang