Demi Anakku

4.3K 304 7
                                    

Arlita Safira. Hanya dia alasanku kuat sampai saat ini. Hanya dia yang kini menjadi semangatku untuk terus menjalani kehidupan dan bertahan. Dia yang kumiliki dan berharga bagiku saat ini. Aku akan melakukan apa pun asal dia sehat, bahagia, dan tumbuh dewasa.

Syukur tak hentinya kupanjatkan karena keadaan Lita sudah membaik dan dibolehkan pulang oleh dokter setelah perjuanganku ke rumah Mas Muklas, tapi tak mendapat tambahan uang darinya. Untuk melunasi pembayaran rumah sakit karena hasil dari penjualan perhiasan tak mencukupi, aku terpaksa hutang pada saudara ibu dan berjanji akan mengembalikan segera. Pak Badrun menawariku pinjaman, tapi aku menolak. Aku tak mau berurusan dengan dia karena jaminannya tak main-main. Jika aku tak bisa mengembalikan uangnya dalam waktu sebulan, maka aku harus siap menikah dengannya. Aku menolak keras. Jangan harap aku mau.

Saat ini, yang aku pikirkan adalah bagaimana cara mengembalikan uang milik saudara ibu. Hutang kami masih menumpuk. Kali ini jaminannya sertifikat rumah agar bisa mendapat pinjaman uang. Jika dalam dua bulan aku dan ibu tak bisa mengembalikan uang itu, maka ibu harus siap menjual tanah serta rumah ini dan uang itu harus dikembalikan dua kali lipat. Ya Allah, ujian apalagi ini?

Ibu memang tak masalah, tapi aku yang memasalahkan. Hutang sebelumnya belum lunas, kini menambah lagi. Tapi tak ada pilihan lain kecuali cara ini daripada berurusan dengan rumah sakit. Dan aku tak mau menerima pinjaman dari Pak Badrun. Gunjingan tetangga akan semakin panas untukku jika melakukan hal itu. Aku sudah cukup muak dengan olokan mereka tentangku.

"Ajeng arep kerjo, Bu. Ajeng ora iso tenang yen ngene iki." Aku membuka suara sambil mengaduk adonan tepung untuk membuat pisang goreng.

"Nduk, kowe arep kerjo opo? Lita piye?" tanya Ibu.

"Ajeng titip Lita sama Ibu. Ajeng mau jadi baby sitter lagi kayak dulu." Aku mengungkapkan.

"Ojo, Nduk." Ibu masih melarang.

Gerakanku terhenti. Pandangan kulempar ke arah ibu yang sedang menghidupkan api dari tungku. "Bu. Kalau Ajeng nggak kerja, gimana hutang-hutang kita sama suami Bude Sri? Gimana kelanjutan sekolah Gusti dan Agus? Kita nggak bisa mengandalkan jualan gorengan. Ini hanya akan mencukupi makan kita sehari-hari saja."

Ibu tak membalas. Rautnya yang mulai keriput seakan menyimpan berbagai permasalahan yang terjadi. Aku yakin jika beliau tak tenang memikirkan hal ini, tapi menutupi dariku karena tak ingin aku semakin kepikiran.

"Ajeng titip Lita sama Ibu. Kemarin, Ajeng sudah tanya-tanya ke yayasan yang dulu pernah nampung Ajeng. Di sana lagi mau rekrut pekerja, Bu. Ajeng nggak mau buang kesempatan. Ajeng mau lunasi hutang-hutang Ibu sama suaminya Bude Sri. Ajeng juga mau bayar SPP Agus dan Gusti. Ibu nanti nggak usah jualan. Ajeng akan kirim uang ke Ibu setiap bulan. Ini janji Ajeng." Aku meyakinkan Ibu.

Tak ada respon dari Ibu. Beliau mengabaikan ucapanku. Sedih. Aku tahu apa yang beliau rasakan. Tak ingin aku kembali bekerja sebagai baby sitter. Pekerjaan itu cukup melelahkan. Aku akui. Tapi tak ada bakat lain dari hal itu. Mau tak mau aku harus kembali bekerja dan melunasi hutang-hutang ibu. Ini demi kebaikan keluargaku. Demi Ibu, demi Lita, demi Agus dan Gusti.

"Kamu lihat Lita. Ibu yang akan goreng." Ibu membuka suara.

Kepala kuanggukkan. Aku bergegas mencuci tangan. Sekilas, pandangan kulempar ke arah ibu. Beliau mengaduk adonan yang sudah kubuat.

Maafin Ajeng, Bu. Ibu setuju atau nggak, keputusan Ajeng sudah bulat. Ajeng harap Ibu ngerti. Demi kita semua.

Aku beranjak dari dingklik, lalu meninggalkan dapur yang terasa menyesakkan dada jika lama-lama berada di sini. Bukan karena asap dari tungku, tapi karena perasaan yang bercampur aduk di dada.

***

Seperti pagi sebelumnya, pemandangan ibu-ibu kurang kerjaan sedang membuat grup untuk menggunjing warga kampung yang terkena skandal. Siapa saja akan mereka bicarakan. Apalagi Bu Endang, biang kompor ibu-ibu lain. Beliau memang terkenal banyak omong dan suka menebarkan rumor tak baik. Heranya, ada saja ibu-ibu yang masih percaya pada dia dan mau menggosip bareng.

"Ciee .... Pak Badrun! Sekarang tiap pagi sering lewat depan rumah Yu Mirna buat nengokin Ajeng!" seru Bu Endang menggoda.

Entah kenapa Pak Badrun tak ada bosannya ke sini dan hanya untuk menyapaku. Kurang kerjaan. Lebih baik aku segera masuk.

"Jeng. Kamu kalau mau nikah sama saya, apa saja saya kasih." Pak Badrun mengeluarkan jurusnya.

Langkahku terhenti. "Mau Bapak kasih gunung emas pun aku nggak akan mau," balasku tanpa membalikkan tubuh. Aku melanjutkan langkah setelah mengatakan hal itu, dan tanpa menunggu balasan dari Pak Badrun.

Tak lupa pintu kututup agar Pak Badrun segera enyah dari halaman rumah dan ibu-ibu berhenti menggunjingku. Perlahan kubuka tirai untuk memastikan kondisi luar. Pak Badrun masih di sana, memerhatikan rumah ini. Ibu-ibu pun masih menatap Pak Badrun sambil mengatakan sesuatu.

"Ono opo, Jeng?"

Aku terkesiap ketika mendengar pertanyaan Ibu. "Biasa, Bu. Siapa lagi kalau bukan rentenir banyak istri itu yang bikin gosip orang-orang di kampung ini mengenai Ajeng. Udah Ajeng tolak dan usir juga masih saja nungguin," aduku.

Ibu menoleh ke arah tirai. Aku pun mengikuti pandangan ibu. Pak Badrun sudah tak ada di sana, tapi ibu-ibu kampung ini masih pada posisinya, dan sudah ada tukang sayur gendong keliling bersama mereka.

"Mungkin Pak Badrun cuma lewat saja." Ibu membuka pintu.

"Lewat? Setiap hari? Ngapain? Dan kalau sampai di halaman rumah selalu pas Ajeng jemurin baju atau lagi siram tanaman. Itu bukan kebetulan, Bu, tapi memang sudah direncanakan." Aku tak mau kalah.

"Wes, kono delo Lita. Ibu arep maring pasar." Ibu berlalu dari hadapanku.

Aku bergegas menuju kamar untuk memastikan anak gadis kesayangan. Sudah beberapa hari dia nyaman tidur. Sudah tidak rewel lagi. Sekarang sudah adaptasi dengan rumah ini. Dia bahkan sudah mau kutinggal ke pasar. Tekadku semakin bulat untuk menitipkan dia pada ibu untuk kerja. Tanpa sepengetahuan ibu, aku sudah meminta tolong teman untuk mencarikanku pekerjaan sebagai baby sitter. Semoga aku cepat mendapat pekerjaan dan bisa melunasi hutang-hutang ibu dan membayar SPP adik-adikku.

Menolak Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang