Terpaksa

4.3K 299 17
                                    

Hari ini, aku akan menemui Lastri, teman yang bekerja di yayasan baby sitter. Dia menghubungiku dan mengatakan jika aku terpilih untuk bekerja di Jakarta. Keterangan lebih lengkap akan dijelaskan Lastri di yayasan.

Beberapa hari ini, aku sibuk ikut pelatihan. Hanya untuk formalitas saja. Yang penting aku cepat mendapat pekerjaan. Aku beruntung memiliki teman seperti Lastri. Dia baik dan memahami kondisiku.

Mengenai izin dari ibu, beliau masih berat merelakan aku untuk bekerja. Aku sudah berulangkali membuat beliau mengerti, tapi tetap saja beliau khawatir. Alasan lainnya adalah Lita. Ibu khawatir kalau nanti Lita rewel atau menangis karena tidak ada aku. Aku sudah menasehati Lita dan mengajarinya agar tidak bergantung padaku. Dia perlahan mau, dan lebih dekat dengan ibuku.

"Jeng, mau ke mana?" tanya Bu Endah, tetangga dekat rumah yang sedang belanja di warung.

"Mau ketemu temen, Bude." Aku membalas ramah.

"Mau ketemu temen apa mau ke rumah Pak Badrun?" ejek Bu Endang.

Ah, aku baru menyadari jika jalan yang kulewati menuju rumah Pak Badrun. Pantas saja Bu Endang menggodaku.

"Bu Endang mau ikut?" Aku menawarkan. Sudah muak dengan ledekannya. Biar sekalian dia tahu dan dia kira aku takut.

"Ah, enggak. Di sana panas, banyak demitnya."

Situ sendiri yang banyak demitnya. Nggak sadar suka gunjingin orang lain. Bukannya itu bersumber dari demit?

Aku mengangguk lemah untuk pamit. Bu Endah hanya tersenyum. Hanya beliau yang ramah denganku. Berbeda dengan tetangga lain yang sudah terprovokasi dengan mulut ompreng Bu Endang, ratu provokator.

Napas kuhela ketika akan melewati rumah Pak Badrun. Semoga beliau tak ada di rumah, minimal tak ada di halaman rumah. Semoga, semoga, semoga.

"Ajeng!"

Mata kupejamkan ketika mendengar suara laki-laki memanggil namaku. Aku masih berjalan pura-pura tak mendengar. Parno.

"Ajeng! Tunggu! Ada yang mau saya sampaikan."

Langkahku terhenti. Itu bukan suara Pak Badrun. Tubuh kubalikkan dan menatap orang itu. Napas kuhela. Benar. Bukan Pak Badrun. Senyum kusungging pada Pak Rohmat, warga kampung ini.

"Iya, Pak. Ada apa, ya?" tanyaku dengan senyum ramah.

"Jadi gini. Bapak mau nawarin Dirman ke kamu. Dirman setuju saja, tapi dia malu mau ngomong ke kamu, makanya Bapak mau menyampaikan masalah ini." Beliau menyampaikan.

"Maaf, Pak, Ajeng nggak bisa. Ajeng pamit, ya, lagi buru-buru mau ketemu teman." Aku berlalu meninggalkan Pak Rohmat.

Aku sengaja memotong beliau dan bergegas pergi agar masalahnya tak panjang. Siapa yang tak kenal Dirman? Bujang lapuk di kampung ini. Usianya mau empat puluh tahun, tapi belum menikah. Bagaimana mau menikah? Kerjaan saja masih tak jelas.

Napas kuhela ketika tiba di yayasan yang kutuju. Kaki kulangkahkan untuk masuk ke dalam. Lokasinya yang cukup jauh membuatku harus berjalan dari rumah sampai tiba di jalan besar agar bisa naik angkutan. Ah, aku jadi kepikiran dengan Lita. Dia belum mandi saat aku tinggal dan kutitipkan pada Gusti. Kebetulan Gusti sedang libur sekolah.

"Jeng!"

Perhatianku terlaih ketika mendengar suara Lastri menyeru namaku. Kulihat dia melambaikan tangan. Aku bergegas menghampirinya. Dia mengajakku masuk ke dalam ruangannya.

"Gimana, Las?" tanyaku setelah duduk di kursi yang tersedia di ruangannya.

"Lusa kamu berangkat. Ini kartu nama calon majikan kamu." Lastri mengulurkan kartu nama padaku.

Aku menerima kartu nama darinya dan menatap sekilas. Erka Pratama. Nama calon majikanku.

"Anaknya berusia satu tahun dua bulan. Katanya, beliau sudah sering ganti-ganti baby sitter buat anaknya, tapi nggak ada yang cocok. Selama ini, gaji untuk baby sitter anaknya aman-aman saja. Siapa tau kamu cocok jadi baby sitter anak beliau karena anaknya cewek. Cuma satu. Beliau juga nyari yang umurnya di atas dua lima karena sebelumnya di bawah itu, dan banyak melakukan kesalahan. Makanya aku ajuin kamu ke beliau karena kamu lebih banyak pengalaman," jelas Lastri.

"Nggak masalah, Las. Aku mau banget kerja. Udah nggak sabar malahan. Aku pingin kerja biar bisa cepat lunasi hutang-hutang ibu aku dan buat bayar SPP adik-adikku." Aku mengangguk.

"Ya sudah. Kamu nanti siap-siap buat keberangkatan lusa. Jangan lupa minta izin ke ibu kamu. Lita dan adik-adik kamu juga. Semoga kamu betah."

Aku mengangguk antusias. Berulang kali berterima kasih lada Lastri. Akhirnya aku mendapat pekerjaan. Aku harus semangat. Demi ibu, Lita, dan adik-adikku. Aku ingin membuat mereka bahagia.

Beberapa berkas sudah kutandatangani dari yayasan. Lusa, aku akan kembali ke sini untuk berangkat menuju rumah majikanku di Jakarta. Usia anaknya masih kecil. Mereka pasti baru berumah tangga. Semoga semuanya berjalan lancar dan sesuai apa yang aku harapkan.

Tinggal satu langkah lagi. Aku harus meyakinkan ibu untuk melepasku pergi. Keikhlasannya paling penting agar menjadi doa untukku di sana. Aku tak mungkin meninggalkan Lita tanpa restu ibu. Beliau surgaku saat ini. Bukan lagi pada Mas Muklas.

Aku pamit pada Lastri untuk pulang setelah keperluanku di kantor itu selesai. Senyum tak hentinya kusungging mewakili rasa senang dan haru karena akan bekerja. Ini senyum bahagia pertama yang kusungging setelah beberapa pekan yang lalu setelah melewati ujian perceraian dan saat Lita sakit.

Semoga senyum ini mengawali kebahagiaan untuk ke depannya. Bukan hanya untukku saja, tapi untuk orang-orang yang kucintai saat ini. Mereka adalah alasan aku untuk kuat.

Ibu, Lita, Agus, dan Gusti. Ajeng janji pada kalian akan memberikan yang terbaik. Akan membantu kalian untuk meringankan beban yang kalian hadapi. Aku harap kalian sabar menunggu untuk kebahagiaan yang akan aku berikan. Aku janji. Aku juga yakin kalau kita juga bisa bahagia.

Menolak Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang