00. Prolog

131 78 62
                                    

"Lo tuh bego banget sih, udah gue bilang minggir tapi masih ngalangin jalan. Tuli, hah?"

"Ma-maaf kak bim, a-aku tadi beneran ngga sengaja."

"Serah, pergi lo. Dasar cupu."

"I-iya kak."

Mago menyingkir dari koridor, membiarkan lawan bicaranya berjalan lebih dulu bersama tiga laki-laki di belakangnya, meninggalkan kesan mencekam bagi siapapun yang melihat.

Nyut, Mago memegang dada di bagian sebelah kiri sembari meremas seragam putihnya pelan. Lagi-lagi perasaan sakit ini, pikir Mago di dalam hatinya.

Entah ini sudah kali keberapa ia mendapatkan perilaku tidak menyenangkan dari pelaku perdebatan barusan, tak lain dan tak bukan, kakak tiri kedua, Abimanyu Harlesnder.

Dari sekian banyaknya siswa siswi di sekolah yang merundung Mago, mau sebanyak apapun makian ia dapat. Lebih sakit kalau kata-kata menusuk di berikan langsung oleh Abim, laki-laki berstatus kakak tirinya itu.

Semua usaha Mago gagal mengingat cara pendekatan ia mulai untuk mendekati Abim selalu berakhir buruk, tidak pernah ada kata berhasil di setiap rencana ia buat selama ini. Hahh... mau bagaimana juga Mago sudah menyadari sejak hari dimana ia di bawa ke rumah besar, tempat dimana ia tinggal sekarang bersama keluarga barunya.

Tatapan menusuk Abim saat mata mereka bertemu, tidak ada aura pertemanan, Mago menyadari kehadirannya tidak di sambut baik kakak laki-laki keduanya dengan tangan terbuka.

Mau bagaimana lagi, sudah terjadi. Di sesali juga percuma, karena tidak akan merubah apapun, hubungan ia dan Abim memang harus di perbaiki tapi Mago masih belum yakin menggunakan cara apalagi nanti.

Tidak membuang waktu lama, Mago langsung melangkahkan kaki meninggalkan koridor, tempat dimana ia berdiri sebelumnya. Memikirkan perkataan dan tindakan Abim tidak akan ada habisnya, malah membuat rasa sakit di hatinya memburuk.

Aku harus coba berbicara lagi padanya, Mago mencoba menyemangati dirinya sendiri di dalam hati. Ya, ia sudah bertekad kembali. Bagaimanapun respon Abim nanti tak masalah, yang terpenting Mago hanya perlu terus mendekat agar Abim terbiasa.

Semoga saja.

***

"Lo?! Lo ngapain si bangsat? Tugas gue hancur sialan."

"A-ah, a-aku cuma mau-"

"Apa hah? Udah gue bilang jangan pernah masuk kamar gue! Kenapa lo tetep nekat? Sekarang tugas gue hancur, deadline besok. Kalo gini siapa mau tanggung jawab? Lo?"

"K-kak tadi a-aku cuma mau nganterin kopi latte, ma-maaf kak ... tapi a-aku bakal bantuin kakak kok ngerjain tugasnya."

"Mau bantu? Ngga salah denger nih? Yang ada makin hancur, cupu. Udah deh ngga usah sok peduli hidup gue, ngga perlu lagi nganter kek gitu. Gue ga butuh!"

"K-kak abim... a-aku beneran minta m-maaf."

"Pergi sialan, lo budeg?"

"T-tapi kak-"

"Berisik."

Mago di dorong paksa keluar dari kamar bernuansa putih bergaya klasik, hempasan kasar pintu di belakang punggungnya membuat sang gadis terkejut. Seketika kakinya terasa melemas, Mago memilih kembali ke kamarnya dengan langkah gontai, dan letak kamar Mago persis di sebelah kamar dimana ia di usir.

Mata bulat bermanik coklat muda tampak berkaca-kaca padahal biasanya selalu terpancar ceria. Membiarkan cairan bening lolos dari sudut matanya---turun membasahi pipi. Mago mengigit bibir bawah guna meredam suara isakan agar tidak ada yang mendengar kalau sekarang ia menangis, pupus sudah harapan ingin lebih dekat dengan Abim. Kecerobohan Mago sendiri menghasilkan kemarahan kakaknya.

Seharusnya Mago tidak pernah melanggar larangan Abim, sang laki-laki paling tidak suka di ganggu apalagi sampai nekat masuk ke kamar privasinya tanpa izin. Mago, berhenti mengacaukan segalanya.

- to be continue

Haiiii
Jadi gimana? Lanjut ga?
Mohon di maklumin ya ini cerita pertamaku di akun ini
Dan akun ini akun lamaku hachac_sweet, gantrada ,gandartazex .
Kemungkinan cerita yg ga selesai itu bakal aku lanjutin di sini.
Semoga kalian nikmatin ceritanya ya
Thanks all~

- ara

it suddenly beginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang