"Ding dong."
"I've caught you!"
Aiden mendudukan dirinya di hadapan Mago, ia tak sungkan mengangkat kedua kakinya naik ke atas meja meskipun mereka berada di dalam perpustakaan.
Kebetulan meja di tempat Mago dan Aiden ada di pojok ruangan dekat Air conditioning memberi hawa sejuk bagi siapa saja di sana.
Tidak ada sedikitpun Mago berniat menegur tindakan Aiden, mau di tegur juga paling percuma kalau di lihat Aiden agak keras kepala pasti tak mudah di atur.
Jadi Mago membiarkan saja, syukur keadaan perpustakaan sedang sepi tentu bukan masalah sama sekali.
Hampir seharian keberadaan Mago selalu di ikuti Aiden kemana pun, Mago sendiri tidak mengerti kenapa laki-laki itu malah mengganggunya.
Padahal anak di kelas banyak sekali ingin berteman dan mengajak Aiden untuk berkeliling tapi di tolak secara halus karena beralasan akan menemui guru dan segala macam, tidak tau saja kalau sebenarnya Aiden membuntuti Mago.
Aneh, padahal pak Bondan bilang Aiden itu murid baru.
Pasti belum tau betul seluk beluk lingkungan sekolah, dan bagaimana bisa Aiden seakan hapal lingkungan ini seperti sudah terbiasa bahkan mengingatnya di luar kepala?
Tidak ada tempat bagi Mago menghindari Aiden. Dekat dengan Aiden bukan pilihan baik, banyak tatapan tak suka melihat interaksi antara mereka berdua.
Mago sendiri sadar, gadis gendut dan wajah jelek mana ada yang mau untuk berteman?
Bisa kenal Aiden saja sudah keajaiban.
Jika di bandingkan, Mago tidak seberapa dengan Aiden. Baru sehari masuk saja kepopuleran wajah milik Aiden selalu menjadi perbincangan seantero sekolah.
Jangan lupakan rambut blonde dan gaya bad boy nya menarik perhatian para kaum hawa.
Aksen amerika kental menjadi ciri khas mengingatkan kalau dia tinggal lama di negeri paman sam tersebut.
Ada satu hal yang Mago bingungkan, Aiden bisa berbahasa Indonesia tapi kenapa pura-pura tidak mengerti ketika di tanya oleh temannya?
Bahkan menjawab dalam bahasa inggris, sungguh di luar dugaan.
"A-aiden, apa k-kamu gak ada pekerjaan lain? A-aku jadi curiga kalau kita bukan sekedar kebetulan b-bertemu," cicit Mago, menutup buku novel di tangannya.
Di pegangnya batang putih---mengeluarkan permen berbentuk lolipop kecil berwarna merah dari mulutnya, menunjuk-nunjuk wajah Mago menggunakan kepala permen yang Aiden emut daritadi.
"Percaya diri lo rendah banget, ngomong aja masih gagu gitu," kata Aiden terus terang.
"A-aku lebih nyaman n-ngomong gini."
"Rubah."
Mago menatap Aiden memastikan perkataan laki-laki di depannya. Sungguh, Mago masih tidak mengerti apa yang salah dari cara bicaranya?
Lagi pula selama ini tidak pernah menegur, berbicara dengan dirinya saja tidak ada yang mau kecuali mama, papa, Eros dan Aiden.
"Hngg? Rubah? Fox?" tanya Mago ragu.
Mendengar jawaban Mago, Aiden terperangah tak percaya. Sontak menghadiahi sentilan di kening gadis itu.
"Auchh..." ringis Mago, mengelus keningnya pelan.
"Silly."
"Kalo gak mau di bully rubah diri lo, biar di hargain. Mau sampe kapan di tindas mulu? Ck, lemah," decak Aiden, memasukkan kembali batang permen ke mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
it suddenly begin
Teen Fiction[ ON GOING ] ------------------------------------------------------------------------ Di jelekkan orang lain tidak lebih menyakitkan daripada keluarga sendiri. Tapi apa daya jika hal itu terjadi karena kehadiran yang tak pernah di harapkan? Semenjak...