Satu

215 22 5
                                    

Kavi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kavi

Ternyata menyukai seseorang itu indah, gue sampai gak bisa berkata-kata lagi begitu merasakannya. Mungkin ini yang dinamakan karma bagi gue karena sudah mengatakan jika jatuh cinta itu adalah hal kekanakkan. Tapi, lihat gue sekarang? Bertemu Nia aja rasanya jantung mau lompat keluar.


Awalnya, gue iseng mau makan diluar, tanpa tau ingin makan apa, gue malah melimpir ke salah satu Caffe didekat persimpangan. Tempatnya hampir sama seperti rest area, sehingga cukup banyak orang yang mampir disini. Selain karena memiliki banyak pengunjung, tempat ini terbilang unik, gue suka tatanannya yang gak begitu mencolok tapi memanjakan mata.

Lalu, begitu masuk lo bakal banyak menemukan tempat-tempat yang sekiranya bisa ditempati oleh satu keluarga, namanya saja yang Caffe, tapi isinya bisa meliputi semua hal seperti Restaurant.

Bertemu Nia disini juga bukan karena kesengajaan, gue yang mencari-cari tempat duduk gak sengaja melihat dua insan tengah tertawa bersama. Gue pikir Nia bersama siapa, ternyata anaknya. Seharusnya gue gak sekaget itu, karena tau Nia sudah menikah. Tapi, tetap aja kalau melihat wajah Nia yang polos dan lugu masih kurang percaya kalau sebenarnya dia sudah memiliki anak.

Pertemuan itu ternyata membuat gue seberani mengajaknya pergi bersama, dulu aja satu eskul bareng dia gue udah seneng banget karena gak tau caranya mendekatkan diri dengan perempuan yang disukai. Iya, sebut aja gue cowok cemen, sekedar mendekati cewek aja gue gak tau gimana caranya. Namanya terlalu biasa sendiri, begitu tertarik dengan lawan jenis, bingung sendiri gimana dekatinnya.

Namun, sangat disayangkan. Gue yang sekarang mulai berani demi hati, tapi begitu berlebihan hingga membuat Nia canggung setengah mati sama gue. Bayangin aja, baru juga ketemu setelah beberapa tahun, tiba-tiba di kasih confess, gimana gak kaget? Gue nya aja yang terlalu excited.

"Lo tau gak hal bodoh yang sudah gue perbuat?"

"Apa? Ngamen di simpang empat?"

"Anjing, itu mah elo."

"Ya, makanya gak usah bertele-tele."

Curhat dengan sejenis manusia gak tau diri kayaknya agak sulit ya, gue yang awalnya badmood jadi makin badmood ketemu Jovas. Gak sudi gue manggil dia Abang walau umur terpaut satu tahun, anaknya minta di sumpahin mulu kalau ketemu.

"Gue habis ketemu Nia, tapi udah confess duluan. Lo tau gak dia secanggung apa? Ah, bego pokoknya."

"Nia, yang cebol itu bukan?"

Gue gak tersindir kok, memang mulutnya kurang akhlak jadi gue wajarin. Malas adu argumen, gue hanya mengangguk lalu mengacak rambut frustasi. Bayangan kalau Nia akan menjauh dari gue sudah cukup bikin gue pusing.

"Bego sih, sudah tau baru ketemu malah di confess, kan lo sendiri yang berabe jadinya."

"Lo niat bantu gue nggak sih? Nyesal ah curhat sama lo." Gue berniat untuk berlalu pergi, terlanjur pundung karena Jovas sama sekali gak membantu. Padahal gue sudah jauh-jauh datang ke tempat kerjanya.

Purpose;✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang