LMLYL [31] : Lemah

1.1K 62 1
                                    

"Rona?"

Rona menghentikan langkahnya. Seseorang yang cukup dikenalnya berdiri tak jauh di depannya.

"Lo Rona, 'kan?" Lelaki itu berjalan mendekat.

Rona mengangguk. "Lo Baskara, 'kan? Ngapain di sini?"

Baskara tersenyum. "Nemenin Chalista buat check up kesehatan," jawab Baskara.

"Chalista sakit?"

"Nggak, pemeriksaan rutin," jawab Baskara cukup menjelaskan, "lo sendiri, ngapain di sini?"

"Beli minum." Rona menunjukkan sebotol air mineral yang dibelinya.

"Nggak, maksud gue, lo ngapain di rumah sakit?"

"Nemenin Milena."

"Milena sakit?" Baskara terdengar sangat terkejut.

Melihat dari raut wajah Baskara, Rona dapat menyimpulkan jika Chalista tak pernah menceritakan apa pun mengenai Milena.

"Sakit apa?" desak Baskara.

"Leukimia."

Baskara membelalakkan matanya tak percaya. Hatinya tertegun mendengar pernyataan yang dilontarkan Rona.

"Gue duluan, ya, bye!" Rona berlalu meninggalkan Baskara yang masih mematung di tempat.

"Bas! Lo ngapain?" tegur Chalista. Ia tadi sempat berpapasan dengan Rona, dan mereka hanya saling melempar senyum dengan mata yang memilih bicara.

"Nggak, ayo pulang." Baskara menarik pergelangan tangan Chalista, membawanya segera meninggalkan rumah sakit.

°°°

Waktu terus berjalan. Jam berputar, waktunya terus bertambah. Mentari pagi menyinari bumi dengan gembira, membuat siapa saja terlihat bersemangat.

Mata gadis itu masih menutup. Penyakit itu menyebabkan banyak komplikasi yang terjadi di dalam tubuhnya, membuat ia benar-benar seperti orang sakit.

Hanya ada Dokter Reyna yang menemaninya siang dan malam. Ini sudah hari keduanya merawat gadis itu.

Ceklek. Pintu ruang rawat terbuka. Semalam, gadis dipindahkan ke ruang rawat agar ia bisa lebih tenang.

Seorang pria paruh baya mendekat. Ia meminta Dokter Reyna keluar dan menjamin tidak akan terjadi apa-apa pada putrinya. Dokter Reyna pun mengizinkan.

Wijaya melirik mesin EKG yang menampakkan jika detak jantung putrinya tidak stabil. Tabung oksigen menutup sebagian wajah manis putrinya. Rasa sakit dan bersalah, mulai menggerogotinya.

Wijaya duduk di kursi yang tadi Dokter Reyna tempati. Ia menggenggam tangan dingin putrinya, menciuminya puluhan kali, matanya seakan ingin menurunkan hujan dengan deras.

Merasakan sesuatu, Milena membuka matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya, tatapan sendu sang ayah.

"Pa ... pa?"

Wijaya mendongak, ia tersenyum. "Papa ganggu tidur kamu, ya?" Ada banyak perasaan bersalah dalam dirinya.

"Papa ... pulang?"

Wijaya tersenyum paksa. Ia melihat kejadian yang terjadi pada istrinya saat itu, terulang pada putri manis mereka.

Wijaya mengangguk. "Maafin Papa, ya?"

Milena tersenyum kecil. "Milena nggak pernah ... marah sama Papa ...."

Komplikasi yang menyerang jantung dan paru-paru gadis itu seakan sudah memastikan jika gadis itu tidak akan selamat. Kamu hebat, Sayang, pikir Wijaya.

Let Me Love You LongerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang