20. upacara terakhir kami

14 2 0
                                    

Ada perasaan yang juga ikut berakhir di pelaksanaan upacara terakhir.

Kelulusan.

Momen di upacara sekarang agak beda ketimbang upacara-upacara di dua tahun sebelumnya. Pembimbing di atas mimbar semacam sedang menyalurkan euforia kebahagiaan sekaligus kebebasan untuk angkatan Smansa enam belas. Riuh, begitu. Setelah mengumumkan kabar jika kami semua lulus ujian nasional--yang sebenarnya nggak terlalu mengagetkan amat karena sudah ketebak--pembimbing juga mengumumkan murid-murid yang diterima di seleksi masuk perguruan tinggi jalur prestasi. Hanya beberapa, mungkin sepuluh persen dari seluruh pendaftar.

Saya tidak termasuk, tidak terlalu kecewa sebetulnya karena memang tujuan utama saya di seleksi ujian berikutnya. Begitu pun Landi dan Yasir yang tidak ikut mendaftar, Galuh, sementara kabar bahagia datang dari kelas kami karena Nugraha dan Cia berhasil tembus jalur rapot. Banyak faktor yang berbeda untuk berhasilnya mereka, mungkin jika dipikir kembali tidak mungkin Galuh dan Landi menerima penolakan, tetapi di antaranya tergantung pada pemilihan jurusan, universitas yang dituju, jumlah peminat, dan nilai minimal dari jurusan untuk lulus.

Pikiran saya kembali tertuju kepada pembimbing ketika nama yang tadinya asing berubah menjadi dikenali disebutkan juga menjadi daftar nama-nama anak yang lulus, Sinara Juang. Galuh yang kebetulan berdiri di samping saya menengok lantas berucap, "Wah, Ina lulus," ujarnya. Tidak tertinggal dengan rona yang membuat wajahnya bersinar. Lapang sekali hatinya, padahal dia tidak mendengar namanya sendiri.

Saya hanya memberi Galuh lirikan, dalam hati saya menduga jika hubungan mereka berdua ini semakin kentara saja keasliannya. Cukup, saya juga sudah tidak terganggu. Masa-masa sibuk kemarin membantu saya untuk melupakan perasaan saya. Tujuan baru saya untuk kuliah menjadi pengalihan untuk sekadar meratapi nasib dari menaruh perhatian kepada pacar teman sendiri secara diam-diam.

Bagian yang tidak kalah ditunggu-tunggu dari angkatan akhirnya mendapat urutan untuk disuarakan, mengenai pelepasan yang akan dilaksanakan minggu depan di gedung Sanggaran. Meskipun lumayan ribet karena memerlukan jas dan tetek bengek lain, itu adalah hari yang kebanyakan dinanti oleh tingkat akhir. Berlebihannya itu begini, perayaan untuk terbebas dari jeratan dan menjemput kehidupan yang jauh lebih banyak warna. Walau lebih bisa saya terima dengan istilah melepas beban untuk menjemput beban yang lebih gede.

"Jadi, kan, nginep? Kita siap-siap dari jam tiga subuh. Berangkat bareng, Lelga sama Mega. Kita jemput satu-satu."

Perhatian saya teralihkan oleh suara Cia yang berdiri paling belakang dari jajaran perempuan. 'Buset, ribet banget, ya, jadi cewek? Pake kudu segala bedakan, ngikalin rambut, bikin alis, babibu. Kurang waras gimana lagi bangun jam tiga pagi?! Saya yakin yang diribetin cowok mah cuma pas milih antara mau pake dasi warna merah jambu polkadot apa ungu polos.' Suara hati saya menggerutu panjang kali lebar, pikiran saya memang sering lebih ramai daripada kenyataan.

"Heh! Aku ngomong sama kamu, ya. Bukan sama tiang bendera." Cia menyenggol bahu Nisa.

"Iya. Berdo'a aja biar akunggak berubah pikiran."

"Ih, serius! Kebaya kamu udah di rumah aku, loh."

"Nggak akan ngaruh, kalau aku lebih milih selimutan sampe siang."

"Nisa!"

Mungkin mereka tidak sadar jika obrolannya sedang bocor ke mana-mana. Suara pembina upacara lewat speaker memang membuat terkecoh. Serasa tidak terdengar, padahal sedang ikut menyaingi volume suara. Nisa yang sepertinya terlalu anak rumahan daripada Cia saya perhatikan masih berusaha tidak terpengaruh dengan hasutan Cia dengan mempertahankan prinsipnya.

"Ini momen kayak ngeliat gerhana matahari cincin, cuma sekali seumur-umur, Nis!" bujuk Cia lagi, lebih kelewatan. Apesnya, langsung mendapat teguran dari arah kanan dan kiri karena volume Cia terus-terusan mengajak balapan pembina upacara yang masih memberi sambutan di atas mimbar. Namun, obrolan mereka juga ikut memengaruhi pikiran saya. Awalnya keputusan saya akan serupa dengan Nisa, tetapi pernyataan 'gerhana matahari cincin dan sekali seumur hidup' mulai menginvasi kepala saya besar-besaran.

Sial, saya menjadi bimbang kembali.

"Di, kita nanti juga berangkat bareng, ya?"

Eh, apa lagi, nih?

"Ramean, sama anak IPA satu juga," tambahnya tidak kalah membuat saya cengo.

"Si Lala, kayaknya sama Ina juga kalau jadi.''

Saya menatap wajah tidak main-main Galuh dengan serius. "Kok?"

"Iya, ramean, Yasir, Nugraha juga."

"Maksudnya ..." Tenggorokan saya sudah keburu seret. "Kok sama anak IPA satu?"

"Lala yang ngide, sih. Lagian Lala sama Ina kan emang satu bimbel sama Yasir, makanya deket."

Saya mengangguk-ngangguk. Pantas dari awal tahun kelas tiga Yasir selalu saya jumpai bertemu Lala.

Kalau begini, saya sulit mencari alasan untuk menolak.[]








apatis di ujung koridorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang