12. harapan mata ke mata

17 3 0
                                    

Deg!

Saya sontak membuang mata ke arah pot berisi daun kuping gajah.

Dari jarak koridor yang masih tersisa beberapa meter sebelum berbelok ke arah tangga, ada hasutan yang seolah mendorong saya untuk menatap mata dia. Tidak sampai di situ saja, tetapi juga terbersit harapan untuk dibalas juga. Saya tidak tahu maksud isi kepala saya ini apa, mendadak begini di tengah kejaran langkah yang semakin berkurang. Sempat-sempatnya!

Alibi saya, hanya pikiran konyol, sebab sudah terlalu banyak kejadian bertanda kutip 'tuan kebetulan' yang akhir-akhir ini selalu tanpa sengaja hadir di antara saya dengan dia. Setelah berhenti menjadikan daun kuping gajah sebagai pelarian, saya berhasil mengumpulkan nyali untuk kembali lagi menatap lurus ke depan. Awalnya hanya sampai ujung sepatu convers dia, naik ke kaos kaki putih sebatas betis, sekarang naik ke kancing seragam, leher, dagu, ... terus mata.

Rasa-rasanya lorong koridor ini sedang ditambahkan efek slow motion oleh Tuhan.

Lama!

Belokan tangga nggak nyampe-nyampe!

Selangkah, dua langkah, sebentar lagi kami berpapasan.

Lalu perhatian saya menggantung sendirian memenuhi lengang koridor lantai dua ketika saya mendapati bahunya berlalu begitu saja menuju arah tangga. Tanpa membalas mata saya lebih dulu, membiarkannya tidak bertemu siapa-siapa. Tidak, saya tidak dilirik kembali. Langkah saya tanpa sadar melambat, membiarkan punggungnya memberi jarak lebih jauh.

Sial, betulan salah.

Harusnya, sekarang tidak ada secuil pun rasa kecewa, kan?

Tapi, kok, rasanya begini?

Memangnya, dia siapa?

***

"Masih ada lima menit, tidak pa-pa ini saya sudahi?"

Bapak Hadi adalah pengajar Bahasa Indonesia, akan tetapi kental dengan logat Sundanya. Jarum jam di tembok kelas menunjukan pukul sembilan lewat empat puluh empat ketika beliau berdiri membelakangi papan tulis dengan tangan masih menggenggam spidol. Selaku pengajar dengan tanggung jawab penuh, beliau sering meminta kesepakatan terlebih dahulu di saat ingin menyudahi kelas lebih cepat, barang tiga menit sekali pun.

Sungkan untuk saya menjawab lantang 'tidak masalah', tetapi hal receh untuk ketua murid IPA empat. "Kita aman saja, Pak," jawabnya.

"Aman, ya?"

"Aman, Pak!" tegas Nugraha yang langsung disambut lirikan dari seisi kelas--saya yakin sebagai simbol tanda setuju.

"Selagi saya beres-beres juga habis, betul?" tanya beliau kembali, memberikan anggukan.

Baru sekarang anak kelas berani menjawab dengan kompak. "Betul, Pak!"

"Jangan lupa pembagian kelompok, ya? KM-nya mana?"

"Saya, Pak." Nugraha mengangkat tinggi tangan kanannya.

"Siap, ya?"

"Siap, Pak!"

Singkat dan siap, lalu Bapak Hadi berbalik mundur untuk merapikan buku tulis di mejanya. Jarum panjang sedang melewati angka sembilan ketika beliau mengucapkan salam di tengah bel istirahat yang masuk melalui speaker kelas. Tidak ingin kalah, gesit anak IPA empat juga langsung menyusul untuk segera terbebas dari jeratan kursi dan meja.

"Nu, nanti aja dibaginya, ya? Makan dulu, laper." Permohonan datang dari Cia selaku siswi yang paling sering melibatkan diri di setiap diskusi kelas.

"Eh, tapi, bentar, pada mau tau nggak?"

Yasir langsung membelokkan haluan. Ia sebetulnya sudah siap melaju ke kantin karena kini sedang berada di jalur barisan. Namun, notifikasi di ponsel yang ia pegang barangkali terlalu menarik untuk diabaikan begitu saja. Jadi, saya lihat ia sekarang berusaha mencuri perhatian kami dengan gaya bicaranya yang menurut saya menyebalkan.

"Apaan?" Nugraha yang selalu tidak sabar dengan Yasir bertanya.

Namun, Yasir abaikan. "Eh, pada mau tau nggak?"

Rombongan yang sudah hampir menyentuh garis pintu kelas langsung memutar balik arah. Berdiri di depan papan tulis, sabar menunggu Yasir melanjutkan informasi--yang semoga saja memang sangat urgent ini.

Sama rupanya dengan robot rusak, Yasir mengulang. "Eh, pada mau tau nggak?"

"Apa, Yas?" Suara Galuh yang menjadi urutan kedua sekaligus menandakan jika Yasir memang kelewat lamban.

"Ibu Nining nggak masuk."

"BENER?" Teriakan melenting datang dari siswi. Bisa saya mengerti antusiasnya mengingat seratus lebih limat menit kita nanti akan terbebas dulu untuk berurusan dengan turunan fungsi-fungsi trigonometri.

"Aslian maneh, Yas?" Nugraha sebagai ketua murid saya terka merasa dilangkahi. "Perasaan nggak ada ngabarin." Alisnya menukik heran.

Yasir berdecak, menyodorkan androidnya ke hadapan Nugraha. "Ini kata temennya si Landi, ngabarin." Tenang Nu, info bukan dari gurunya langsung.

"Kata siapa, Yas?" Anak kelas ikut bertanya.

"Temennya si Landi!"

Kini giliran saya. "Siapa?"

"Itu si Ina."

"Siapa, Yas?" tanya anak kelas lagi. Mungkin memastikan jika sumber informasi melalui Yasir sebagai perantara ini memang terbukti valid.

"Si Ina! Tai telinganya pada nyangkut apa gimana dah, heran!"

Sementara saya, 'Yasir juga kenal temennya Landi?'" membatin.[]
















apatis di ujung koridorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang