13. ganjil adi penasaran

26 3 0
                                    

"Beneran Bu Nining nggak hadir, Yas?"

Kami berkumpul selagi menunggu pengajar seni musik selesai dengan ibadahnya. Nugraha perlu mendongak ketika bertanya karena ia duduk di tangga dasar mimbar alat-alat seni musik sementara saya dan Yasir di tepian atas. Arah kami sejajar dengan lapangan sehingga lincahnya Galuh dan anak IPA empat lain yang kini bergabung untuk mengoper bola bisa kami tonton bersama. Sementara pembagian kelompok Bahasa Indonesia sepakat kami undur di jam kosong nanti.

"Katanya." Jagung susu keju di jam istirahat tadi masih dalam kunyahan Yasir, mungkin karena itu ia hanya mengangguk singkat dan tidak berusaha untuk lebih terlihat meyakinkan.

"Yang serius atuh maneh teh!–Yang serius kamu!"

Dahi Yasir berkerut, saya bisa melihat jakunnya turun naik seperti dipaksakan untuk menelan. Sepertinya ia buru-buru ingin menjawab sentakan Nugraha barusan. "Terus urang kudu gimana biar keliatan serius? Ngajak maneh berkomitmen gitu?" Yasir mulai ngaco.

Pantas selalu saya temui obrolan mereka tidak pernah adem, Yasir selalu membalas dengan nada tinggi bahkan ketika Nugraha berbicara baik-baik. Lalu giliran Yasir santai, Nugraha yang berlaku sebaliknya. Hanya orang-orang sabar yang bisa tenang saat diperlakukan semena-mena, sedang mereka tampak bukan salah satunya. "Lain gitu, urang bakal ke perpus kalau nggak ada."

"Ke perpus mah ke perpus aja atuh, meni riweuh–ribet banget. Molor di sana, jangan baca, entar hujan gede!" Anak perempuan yang berkumpul di belakang kami tertawa. Yasir melirik. "Ya, Ci? Bener nggak?" tanyanya mencari pembenaran pada Cia yang hanya dibalas anggukan.

"Kayaknya bener, Nu. Kata anak ipa satu, ke mereka nggak hadir juga, kan?" Pertanyaan saya dibalas anggukan oleh Yasir. "Ina itu yang kemarin ke kelas kita bareng Landi?" Saya menambahkan pertanyaan.

"Iya yang itu."

"Dia yang ngabarin apa kamu yang nanya duluan, Yas?"

"Si Adi kalau lagi bawel nyerocos mulu, ya?" Entah Yasir bertanya kepada siapa, mungkin berbicara dengan biji jagung di wadahnya.

"Perasaan aing baru ngomong dua baris,'' bela saya agak geram. Menjadi orang pendiam itu sekalinya bicara normal langsung dianggap terlalu cerewet, heran. Gimana saya nggak jadi semakin silent coba?"

"Nanyanya sih kemarin ke si Landi, tapi yang bales si Ina. Hp si Landi lowbat."

Nugraha tiba-tiba asal bicara. "Jarang-jarang Adi nanyain cewek." Fokusnya ternyata berbeda arah.

Saya menelan ludah, lumayan gelagapan. "Maksudnya ...," Mencari alasan di saat tertangkap basah ternyata sulit juga. "Ini kan Bu Nining, Matek, killer lagi, seringnya hoax. Beliau mah rajin banget, hujan badai juga dateng." Saya banyak omong jika sudah mulai gugup.

"Oh, ceritanya lagi kepo sama si Ina?" Tidak ampuh ternyata alasan saya di telinga Yasir.

Mati-matian saya menahan air muka sedatar mungkin agar tidak terbaca. "Terserahlah, Yas. Udah lupain."

"Sebelas dua belaslah sama maneh dia."

Apa coba?

"Kalau nanti bener nggak ada, yang bagi kelompok maneh aja." Nugraha kembali pada bahasan pembagian kelompok.

"Tapi ada simulasi ujan di ruang komputer, giliran sama IPA satu. Kita masuk duluan. Emang mau ngapain?" tanya Yasir.

"Urang mau ke perpus beresin kerjaan. Wifi di kelas lemot." Jadi karena ini Nugraha sejak tadi sibuk memastikan.

"Kerja apa kamu? Judi?"

"Si Anying, kalau ngomong licin banget. Anak belut maneh?"

"Anak celeng."

Sudut bibir saya ikut tertarik. Sebagai anak yang tidak leluasa untuk mengeluarkan umpatan, mendengar mereka berdua berselisih memang sukses menjadi bahan hiburan. Anak kelas pun tampaknya setuju karena setelah obrolan Yasir dan Nugraha selalu terdengar tawa dari ramai-ramai.

"Ketawa mah ketawa aja, Di." Cia mengomentari gelagat saya, kemudian saya balas dengan senyuman.

"Adi mah emang gitu, Ci, suka malu-malu garong."  Yasir ikut memberikan respon.

"Ih, Adi lucu, deh."

Yasir hampir tersedak biji jagung, sedang saya lagi-lagi hanya tersenyum, kali ini lumayan kaku karena saya mendadak bingung bagaimana menjawab Cia. Untung aksi Galuh di lapangan langsung menarik perhatian banyak dari kami sehingga kejadian barusan langsung teralihkan. Saya melihat penonton di koridor lantai dua ramai bertepuk tangan dan melentingkan suara.

Sejak kapan Galuh memiliki fandom?

"GA, GALUH." Yasir sudah berdiri saat suaranya meninggi. Belum mendapat respon ketika ia melangkah turun untuk mendekat ke arah tong sampah di samping jajaran pot bugenvil mimbar. "GAL!" Saya bersyukur pembahasan tentang teman Landi dengan mudah teralihkan.

Galuh menghadap ke arah kami sembari mencekal kedua pinggangnya. Kaos putihnya terekspos karena kancing seragamnya terbuka sempurna. Walau dari jarak yang tidak bisa dibilang dekat, naik dan turun bahu Galuh bisa kita saksikan bersama. Dagunya terangkat bermaksud menjawab Yasir, mulutnya sedikit terbuka untuk meraup udara.

"Dadah-dadah, dong!"

"HAH?"

"SAPA-SAPA PENGGEMAR." Justru Yasir yang kini melambaikan tangan ke arah koridor lantai dua. Untungnya tidak dibalas sorakan melainkan teriakan siswi yang semakin melejit ramai.

Galuh menggeleng disertai senyum malu-malu. Ia berlari ke arah kami berbarengan dengan anak-anak di belakang yang mulai riuh sembari berkata, "Ada Bapak, ada Bapak."

Saya menengok searah persimpangan musala dan menemukan Pak Eka yang berjalan sembari menunduk. Sebelum naik ke atas panggung mimbar, saya sekali lagi terbawa oleh heboh di batas tembok koridor lantai dua. Berjajar beberapa siswi yang menonton gocekan Galuh beberapa menit lalu. Dari lantai IPA tiga, lurus ke arah kanan, berhenti di IPA satu.

Semringah di bibir saya lenyap dengan mudah. Jantung saya lagi-lagi serasa dibawa turun angkot menuju turunan.

Deg.

Entah bagaimana, wajah teman Landi selalu tanpa sengaja berhasil saya temukan di antara kerumunan. Ia sedang menumpukan sikunya di beton pembatas bersama Landi dan tepukan tangannya. Siapa namanya lagi?

Ina?

Lalu untuk kedua kalinya saya lihat Galuh melirik ke arah lantai dua. Mungkin saya keliru, tetapi sekilas saya melihat wajah Galuh berseri untuk per sekian detik. Lari kecilnya ketika menghampiri kami tampak sangat ringan.[]














apatis di ujung koridorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang