08. orang-orang terdekat

20 4 0
                                    

Yasir benar ketika berkata kepada kami jika waktu di kelas akan lebih sempit ketika sudah menginjak bangku kelas tiga. Baru saja kemarin saya dengan Yasir menjadi peserta yang menjalani masa orientasi di lingkungan sekolah, sekarang kita sudah ditekankan untuk persiapan ujian nasional, try out dalam waktu dekat, dan mempertimbangkan dengan matang pemilihan jurusan di perguruan tinggi. 

Saya lihat somai Yasir sudah tidak bersisa. Dari yang awalnya membahas ujian dan waktu yang melesat tidak terasa, obrolan kita mulai melantur ke mana-mana. Segala mempertanyakan asal-usul nama jajanan aci goreng yang diberi sebutan cimol janda. Yasir bahkan menciptakan filosofi sendiri yang sebenarnya masuk akal untuk diterima.

"Tau nggak kenapa namanya cimol janda, bukan cimol duda?"

"Apa?" Nugraha yang paling antusias jika dibandingkan dengan saya dan Galuh.

"Karena yang jual ibu-ibu."

"Orang kemarin bujangan yang ngegoreng." Nugraha mematahkan teori Yasir.

"Nah," jawab Yasir, "Yang itu anaknya."

"Bukan, ya." Untung ada galuh yang sepertinya sudah mulai tidak tahan sehingga ikut masuk ke dalam obrolan. Jika tidak, kami sudah dibawa melantur semakin jauh oleh karangan mereka berdua yang tidak ada batas. "Nggak ada urusannya sama duda," terang Galuh, selalu berhasil sabar. "Singkatan itu." 

"Aci digemol janda, kan?" Yasir tetap keukeuh.

Nugraha tumbenan satu jalur dengan Yasir karena kini terbahak sampai tersedak air jeruk. "Belegug, masih aja," ocehnya. Saya juga mengakui keteguhan Yasir yang sulit surut itu.

"Janda itu jajanan sunda." Galuh menambahkan.

"Masa, sih?" Yasir melihat saya. "Iya gitu, Di?"

Saya mengangkat bahu. "Coba deh, tanya langsung yang jualnya," kata saya.

"Tanya ... 'Ibu janda apa bukan?', gitu." Nugraha mendikte.

"Idih, entar aing digampar lagi!"

Saya mulai ikut terkekeh kemudian kembali menerangkan. "Nggak gitu maksud urang, tanya kenapa namanya cimol janda bukan duda."

"Ah, keburu capek mending ngunyah sampe bego."

Jidat Yasir hampir ditusuk garpu oleh Nugraha, mungkin saking geregetnya. Walau sempat melotot sebentar, Yasir tidak mengambil serangan lanjutan. Saya masih menghabiskan makaroni basah berbentuk lilitan kawat sementara Nugraha belum juga selesai dengan jajanan goreng sundanya ketika rombongan IPA satu masuk ke dalam kantin.

Saya akui bukan anak berambut keriting yang lebih awal masuk ke dalam penglihatan saya, tetapi Astronot Kelautan. Dia berjalan di barisan paling depan. Baru seling satu detik, tanpa perlu celingak-celinguk, saya menangkap kehadiran dia. Rambutnya belum saya temukan berbeda, tetapi perhatian panjang saya kini sedang membentuk sebuah perbandingan di dalam kepala. Bayangan antara dia dengan makanan saya di atas meja mendadak membuat hati saya kembali tergelitik, bukan makaroni yang saya gigir, tetapi bibir bawah. Ujung poninya yang bergerak naik dan turun mirip seperti makaroni spiral di atas piring jajanan saya.

Bukan hanya saya, Galuh juga tampaknya memperhatikan cukup lama ke arah rombongan yang sekarang sudah berpencar. Satu ke arah jus jeruk dan yang lain mendekati meja di ujung kantin, sedangkan Yasir yang duduk membelakangi belum memberikan respon apa-apa, padahal piringnya sudah tidak bersisa sejak tadi. Tidak ada alasan lagi untuk membuat Yasir khidmat tanpa menengok kanan dan kiri.

"LALA, KATANYA DIET!" Nah, baru satu detik saya dibuat heran, sudah dipatahkan lagi. Sekarang seisi kantin menonton kami memakan cimol janda dan makaroni spiral.

Wajah Landi kalang kabut ketika berbalik dari jajaran buah yang dipajang di etalase. Dia berjalan mendekati meja kami dengan kecepatan penuh, lantas mengepret wajah Yasir menggunakan lembar lima puluh ribu. Hening, tanpa membalas perkataan apa pun.

"Woy, lah!" Yasir hampir terjungkal, mengerjap dengan dua tangan terbuka pertanda siaga, mungkin ia sempat mengira akan dijotos langsung menggunakan tangan kosong seperti kebiasaan Nugraha.

Kali ini bukan dari Nugraha, tetapi Galuh yang berkomentar selepas kepergian Landi. "Makanya jangan banyak tingkah, Yas."

"LA! Kata Galuh, 'makanya jangan banyak bacot!'" Yasir memberikan sedikit modifikasi kata, tetapi mengubah nama baik orang secara total, lengkap diakhiri dengan intonasi yang sama percis seperti Galuh.

Landi memutuskan untuk tidak mengambil kembali langkah-langkah terakhirnya, hanya saja dari depan etalase kantin bisa kami lihat jidatnya yang berlipat-lipat. Sepertinya urat malu Landi jauh lebih tebal ketimbang Yasir karena lagi- lagi dia tidak terdengar menjawab apa pun.

"Maneh!" tegas Galuh.

Kompak kami memutar kepala untuk menemukan wajah Galuh, terhenyak. Yasir masih menganga selepas teriakannya untuk Landi. Nugraha dengan kunyahan aci berminyaknya yang menggantung. Saya dengan tusuk gigi penuh makaroni spiral di depan bibir. Kami dilanda sedikit syok, tidak segera melepaskan mata dari wajah Galuh yang bertingkah laku langka dengan memberikan penekanan keras ketika mengobrol dengan kami, mana lagi menggunakan Bahasa Sunda. Catat!

Fokus kami bertiga goyah ketika makaroni saya menggelinding satu dari tusuk gigi. Saya akhirnya berkedip, membuka mulut untuk kemudian mengunyah, sementara jakun Nugraha saya lihat turun dan naik, sepertinya ia sudah berhasil menelan acinya.

"Santai, Bor!" Suara Yasir akhirnya berhasil keluar.

"Aku? Santai, kok," aku Galuh terlihat tidak merasakan apa-apa.

Kami dengan cepat membiarkan momen ini lewat terbawa angin kantin yang beraroma goreng kol. Mungkin karena ini pandangan saya juga ikut terganti oleh wajan yang mengepul tepat di samping etalase buah-buahan tempat Landi berdiri. Saya seperti diberikan kelapangan untuk melihat dia yang sekarang sedang mengobrol dengan teman laki-lakinya. Tidak khawatir disangka curi-curi pandang, seakan drama yang Yasir buat tadi memang sumber utama untuk menjadikan mata saya terpaku searah kawan Landi.

Saya lihat dia mengangguk-angguk, menaik dan turunkan tangan selagi berbicara. Seharusnya saya tidak merasakan apa-apa, sebab perempuan di depan sana tidak ada keterlibatannya dengan apa pun dalam diri saya. Namun, ada harapan yang mendadak muncul begitu melihat orang-orang yang selalu berada di sekitar dia. Mereka yang bisa mengenal dia, beradu obrolan, serta menjadi orang dekat yang ia kenal.

Ini belum terasa masuk akal, tetapi mendadak saya ingin menjadi salah satu orang-orang yang ada di sana.

Saya ingin mengenal dia, pun dengan dikenal dia. 

Saya ingin menjadi salah satu orang terdekatnya juga.

Dia seperti apa orangnya?[]











apatis di ujung koridorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang