17. egoisme yang lumrah

16 2 0
                                    

"Yas, baca chat! Besok beres kalau bisa."

Nugraha berteriak dari kursinya sementara Yasir sudah menggondol tas dan rapi mengenakan jaket di pintu kelas. Kita sudah siap untuk pulang ketika Nugraha memberikan titah kepada Yasir, ikut menghentikan lngkah saya yang kini terhenti di tengah-tengah kelas, menyimak mereka berdua.

"Apaan?" Yasir bertanya.

"Pak Hadi nyuruh list kelompok di print. Formatnya udah urang kirim."

Tidak langsung mengangguk, Yasir justru kini berdecak. "Ke si Mega nggak, sih? Urang ada bimbel, bubar jam sembilan." Yasir menyebut nama sekretaris kami.

"Si Mega ada kerkom katanya."

"Kerkom apaan?"

"Ini, Indonesia."

"Buset dah, rajin amat, kelompoknya aja masih anget. Terus maneh?"

"Kan sekelompok sama si Mega, masih harus ada yang diurus juga."

"Alah." Yasir menimang, membuang pandangan ke luar pintu lantas kembali lagi, lalu menemukan saya yang sedang celingukan. "Di, bisa nggak?" tanyanya.

"Bisa, Di? Tinggal copas aja gampang, terus cetak."

Saya melihat Yasir lantas berpindah pada Nugraha. "Bisa ... kayaknya."

"Yang bener, jangan iya-iya doang, bisa?"

Saya mengangguk.

"Nah, sip. Tolong pisan, ya, Di." Nugraha menambahkan.

***

Jam istirahat sudah berlalu, saya perhatikan wajah Nugraha kusut sejak tadi pagi. Tadi malam saya mengirim dokumen yang sudah rapi kepada Yasir karena printer di rumah saya sedang macet, tapi ia meninggalkan lampiran di rumahnya. Bukannya segera pergi ke warnet, Yasir justru menyuruh Nugraha karena ia masih sibuk menyalin tugas Bu Nining yang ia dapatkan dari Galuh. Padahal, kemarin ia sendiri yang mengatai orang terlalu rajin, tugas Bu Nining itu masih satu minggu. Makanya Nugraha tidak menerima alasan Yasir dan pergi sendiri dengan misuh-misuh.

Mendengar bagaimana Yasir sempat mengungkit hasil try out di bimbelnya, sepertinya ia juga sedang dibuat pusing karena nilainya tidak mencapai maksimal. Keduanya sama-sama dalam kondisi emosional yang tidak stabil. Ponselnya berbunyi sejak tadi, mamanya menelepon tetapi tidak kunjung Yasir jawab. Katanya pagi ini lampiran hasil try out bimbel baru saja dibagikan di grup yang berisi kumpulan orang tua, niat sekali. Mamanya akan mengomel sepanjang hari karena itu Yasir ingin menyibukkan diri dengan tidak terlihat online di aplikasi pesan.

"Chat aja, Yas, gitu lagi nugas," kata saya pagi tadi.

"Nggak tau, Di. Urang males ngomong, males gerak, lemes. Paling diangkat juga mau ngatain urang bego."

Terjawab sudah kenapa Yasir tidak berminat untuk mencari warnet, tetapi saya tidak memberikan respons apa-apa. Serasa ikut tertampar oleh beban yang tidak saya sangka diterima oleh anak seperti Yasir. Nugraha juga tidak sempat mendengar alasan Yasir yang sebenarnya dengan lebih dulu membawa emosinya keluar kelas.

Jus buah naga di siang ini bukan hanya satu, Yasir meminta saya untuk membelikannya karena masih terpantau tidak ingin ke mana-mana. Ia simpan di pinggir jendela di dekat meja guru, duduk di kursi sana, menunggu ponselnya yang ternyata saking tidak ia hiraukan kini sudah mati daya. Saya melihat dari arah kursi, Nugraha yang baru datang dari perpustakaan--lagi, membuka tasnya dan menyerahkan tiga lembar dokumen. "Di maneh, Yas, urang lagi pegang banyak berkas takut keselip," katanya. Berdiri di depan papan tulis.

Yasir terdengar menarik napas panjang, wajahnya tidak terima. "Kok, urang mulu, sih, dari tadi?" Ia berdiri cepat, lantas sikunya menyenggol cup buah naga.

Terdengar pekikan Yasir yang sikunya terhantam, sementara pandangan kami termasuk seisi kelas kompak melihat meja guru. Refleks Yasir menggeser kertas yang sudah rapi dengan staplesnya, tetapi keberuntungan sedang tidak berpihak. Permukaan putih dengan deret tabel yang berisi daftar nama kini tertutup sempurna oleh tumbukan buah naga dan kepingan es batu.

Nugraha mematung, matanya lurus kepada Yasir cukup lama. Kemudian kalimat sarat kekesalan terdengar mengalir begitu saja. "Maneh mah emang nggak pernah baleg--dewasa--kalau disuruh juga."

Yasir menghela napas, ia mundur dan menjauhkan beberapa buku yang ikut tergenang. Kemudian setelah sempat terdiam juga, pandangannya awas mengarah kepada Nugraha. "Bacotlah."

Satu kata yang membuat kami kompak mendongak, tertarik dengan debat yang kini mulai berlangsung.

"Nggak sadar tanggung jawab, Bos?" Nugraha menyambar cepat.

"Nggak usah ngerasa paling bertanggung jawab, ya, Bapak Ketu."

"Maneh kerjanya apa, sih? Urang tanya."

"Naon, sih, ujug-ujug. Ngerti kecelakaan?"

"Urang nanya."

"Emang maneh ngapain dari kemarin di perpus? Nge-game?"

"Urang nyiapin berkas."

"Berkas apaan?"

"Daftar PTN."

"UN juga belum, kocak."

"Orang bodoh kayak maneh mana paham?"

Cup yang sebelumnya sempat berhasil Yasir selamatkan sengaja ia loloskan kembali ke dasar meja, terhantam dengan keras. Gemertak barang pecah mengisi ruang kelas, genangannya terciprat ke mana-mana, sontak saya berdiri, hampir maju ke depan. 

Kini mereka berdua sudah sempurna mendapatkan perhatian anak-anak kelas.

Biasanya Nugraha yang selalu terlihat ringan tangannya, dari menjitak kepala, mengangkat garpu bekas siomai searah wajah, atau menghunuskan pulpen dari arah kursinya. Kali ini Yasir yang justru langsung berani bertindak jauh, ia bergerak cepat memutari meja lantas mendorong dada Nugraha hingga punggungnya menghantam papan tulis.

Beberapa saat kami terdiam untuk mencerna situasi yang tidak biasa ini.

Sebelum Yasir bertindak lebih kepada Nugraha, suara Galuh yang pertama terdengar di antara kami. "Udah, hey, sini soft file-nya biar aku print lagi," katanya.

"Iya, sini, aku bantu." Cia ikut melibatkan diri di tengah keributan.

"Kalau yang lain ikut bantu nanti dia nggak akan sadar-sadar." Dagu Nugraha menunjuk wajah Yasir, belum selesai juga konflik pribadinya.

Jeda yang lumayan panjang membuat saya menduga jika Yasir sama bingungnya dengan kami. "Ngomong yang jelas! Jangan ngode kayak bencong!"

Entah kenapa badan saya kaku sekali, hanya untuk bergerak menengahi keduanya di tengah perhatian anak kelas yang sudah hampir tiga tahun bersama ini. Baru saja lutut saya akan bergerak, kursi di depan saya berderit, Galuh berdiri dan berlari ke depan. Badan saya tiba-tiba menjadi semakin tegang. 

"Kertas ini tuh bagian maneh, dari kemarin juga urang udah ngomong. Disuruh bagi kelompok doang malah ngobrol. Ke warnet tinggal nyeberang dikit, banyak alasan. Kesel urang sama orang kayak maneh, Yas."

"Kan bisa anak lain, Nu. Nggak usahlah formal banget ngikut struktur kelas. Fleksibel jadi orang, tuh."

"Terus apa guna--"

"Terus apa gunanya pembagian bagan kelas? Urang juga nggak pernah mau jadi wakil, emang pernah nge-iyain?"

Nugraha tidak terdengar kembali menjawab, mungkin membenarkan kenyataan yang baru saja Yasir akui.

"Urang tau maneh orangnya kayak apa, maneh juga tau urang kayak gimana, seenggaknya ngertiin dulu. Segitu keselnya maneh sama kelakuan urang sampe memperjelas kalau urang bego?"

Nugraha melempar kertas yang sekarang sudah tidak berbentuk, kemudian segera ditahan oleh Galuh. "Nu, udah," lerainya. Berdiri di tengah-tengah mereka.

Cia berbalik dari kursinya, melihat ke arah saya dengan tampang panik. "Di, temen kamu tuh, pisahin!"[]




apatis di ujung koridorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang