03. bayangan sinar benderang

92 6 3
                                    

Saya sedikit mencondongkan badan ke arah punggung Galuh. "Ga, mau nanya, dong," ucap saya.

Walaupun tidak ekspert dalam menyelesaikan permasalahan Matematika, tetapi saya tidak pantang menyerah sehingga sebenarnya mungkin saja untuk saya tekun dalam menyelesaikan soal jika memang mau, hanya saja pasti akan lebih lamban daripada murid yang sel otaknya lebih cepat tersambung. Anak yang biasanya saya andalkan perkara angka adalah Galuh. Saya baru tahu jika Galuh sangat sabar dalam memahami proses berpikir saya yang seringnya memilih untuk berputar terlalu jauh, berhubung letak kursi kita berhadapan di kelas tiga ini. Ia bukan tipikal murid yang langsung menjawab tidak tahu padahal angka akhir sudah berhasil didapatkan di atas buku tulisnya atau menyerah begitu saja di tengah-tengah menjelaskan.

"Boleh, nanya apa?"

"Kalau yang ini dari mana?"

"X1 plus x2 sama dengan 'b' per 'a' itu dari diskriminan persamaan kuadrat. Tau nggak rumusnya?"

"Nggak." Saya menggeleng.

Galuh kembali membelakangi saya untuk mengambil catatannya. "Nih, yang ini." Dia kembali lantas melingkari bentuk persamaan menggunakan pensil. "'B' kuadrat minus empat, dikali 'a' dikali 'c' itu 'd', 'd' kapital. Jadi, kalau kamu jumlahkan x1 dan x2 bakal dapat 'b' per 'a'."

"Ooh." Saya kembali mengangguk-ngangguk. "Oke, thanks, Ga."

"Sama-sama."

Galuh sudah kembali khidmat di kursinya, sementara Yasir kini mengeluh untuk yang kedua kalinya. Bukan perkara rumus yang jelas akan ia terima-terima saja segaib apa pun munculnya--makanya itu bukunya sudah tertutup sejak tadi, tetapi jurusan kuliah yang sudah mulai dibahas oleh pengajar di instansi bimbingan belajar yang ia ikuti.

"Aduh, apa atuh? Di, bantuin mikir, dong!"

Selain tugas dan tugas, tahun terakhir kita juga sampai kepada obrolan untuk menentukan persimpangan mana yang akan dipilih selepas kelulusan. Saya yakin akan kuliah, sementara Yasir teman sebangku saya tidak percaya diri dengan kapasitas otaknya, dia sendiri yang mengaku. Yasir berencana untuk bekerja saja jika orang tuanya tidak memaksakan kehendak. Jika pada akhirnya Yasir harus menjadi anak berbakti dengan menuruti hajat ibu bapaknya, Yasir ingin memilih jurusan yang tidak terlalu membuat kepalanya berpikir keras, katanya.

"Emang ada?" Saya bertanya.

"Ada, olahraga? Tinggal gerak doang, kan? Nggak usah mikir," jawab Yasir sangat yakin.

Android di tangan Yasir masih dimiringkan, saya tidak bisa menebak ia sedang bermain game apa berhubung kabel tersambung menyentuh lubang telinga kirinya. Kegiatan yang kudu ia sempatkan untuk mengurangi stresor dari tugas-tugas yang masih menumpuk di atas meja. Cukup saya akui kemampuan multitasking Yasir tinggi, ia bisa menjawab obrolan kita tanpa ada jeda sedikit pun.

Punggung Nugraha berbalik untuk menengok meja kami, meninggalkan sementara tugas-tugas yang ia tumpuk serupa kue lapis di atas mejanya. "Kamu kira jempol kamu bisa nge-scroll layar kayak gitu nggak pake otak?" tanyanya sembari mengacungkan pulpen.

Namun, tidak bisa mengusik mata Yasir untuk lepas dari layar. "Emang pake?" Yasir membalas tidak kalah sarkas.

Saya hanya memberi lirikan ketika Galuh yang baru saja kembali tekun untuk menurunkan rumus ikut juga menimpali, "Kayaknya kamu harus nyari yang lebih praktikal, Yas. Jangan yang teori banget." Ia memberikan saran serius.

"Gitu, ya, apa dong?"

"Mau praktek mau teori! Kalau dasarnya males belajar mah percuma, Ga!" Nugraha mengangkat kembali pulpen juru terbang pesawatnya.

"Heh, ati-ati kalau ngomong. Kok ... bener banget." Yasir justru mengakui dengan tulus, kemudian ia mengganti tujuan kuliahnya lagi. "Apa ... astronot kelautan aja?"

"Hah?" Saya meminta jawaban searah wajah tidak peduli Yasir, tidak saya duga seisi kelas juga berlaku sama. Mereka terpengaruh oleh perkataan Yasir kali ini. Diam-diam obrolan kita  sedang menjadi konsumsi publik sejak tadi.

"Apa ari maneh?" Nugraha sudah tidak bisa sabar lagi.

"Urang jadi inget si Landi." Yasir menjelaskan.

Punggung Galuh saya perhatikan berubah lebih tegap.

"SIAPA?" Suara Nugraha sedikit melenting tinggi, kali ini sudah sempurna menghadap ke belakang dan menelantarkan sandwich tugasnya.

"Anak IPA satu, ditanya guru bimbingan konseling mau pilih jurusan apa, sama dia dijawab astronot kelautan." Bukan hanya Yasir yang tertawa, beberapa siswa lain juga mengakui konyolnya tingkah anak IPA satu yang baru saja Yasir sebutkan.

"Si Lala, Yas?" Kini giliran penanggung jawab bendahara yang ikut menimpali, menyebut nama panggilan yang lebih terdengar umum di telinga mereka. Sepertinya pamor Landi sudah tidak diragukan lagi.

"Iya, stres anjir itu anak. Wanian--beranian."

"Si Lala mah emang rada-rada, ajaib bisa masuk IPA satu." Cia yang sepertinya mengenal Landi juga ikut menambahkan.

"Yang mana, sih?" Pertanyaan Nugraha sebetulnya mewakili saya juga, mungkin tidak dengan Galuh karena sekarang ia sudah kembali menunduk di atas buku tulisnya.

"Itu anak teater. Anaknya nanti ke sini."

"Anak teater?" ulang Nugraha.

"Enya."

"Pantes," kata Nugraha singkat.

"Pantes apa?" tanya Cia dari kursi sebelah.

"Sengklek."

Disusul kekehan murid lain yang mau tidak mau ikut mendengarkan obrolan kita sejak tadi.

Saya bisa menangkap maksud dari ucapan Nugraha, ekskul teater di Smansa memang terkenal dengan konsepnya yang sangat nyentrik di setiap musim pengenalan Masa Orientasi Sekolah. Mereka menampilkan peragaan drama dengan gaya pakaian dan rias seperti orang tidak sehat akal, sementara dikemas oleh alur drama yang apik.

"Nah, panjang umur si Landi!" Yasir menarik headset yang menggantung di sebelah telinganya, menaruhnya beserta ponsel di atas meja. Ia beranjak keluar dari kursi. Sempat terdengar tawa yang nyaring seiring langkahnya menjangkau pintu kelas.

Pergerakan Yasir diikuti semua pasang mata di dalam ruangan, kali ini Galuh pun rela meninggalkan buku tulisnya. Saya tidak memiliki alasan untuk tidak melihat anak IPA satu yang dibicarakan sejak tadi ini. "Jadi, astronot kelautan?" tanya Yasir lantang yang kini sudah sampai di depan pintu, berhadapan dengan seorang perempuan yang menggelung rambut legamnya serupa rumah siput.

Walau tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, seisi kelas lagi-lagi mengisi suara di belakang obrolan yang akan disampaikan Yasir dengan gelak tawa. Saya dari pojok kursi bisa melihat dengan jelas wajah terheran-heran dari gelagat anak IPA satu yang ternyata bernama Landi ini.

"Naon ari kamu?–Apa sih kamu?" tanya Landi.

Saya juga tidak mengerti, tetapi ungkapan jujur yang terkesan polos barusan justru semakin membuat suasana kelas semakin ramai. Mungkin karena kita sama-sama tahu fakta yang tidak Landi ketahui sebelum ia datang kemari, gegara Yasir. Tidak lama ketika saya mengalihkan perhatian pada catatan, hari itu ketika saya mendongak lagi, dia sudah ada si samping Landi. Lalu seperti bayangan yang akan terlihat ketika ada sinar benderang, saya menyadari perwujudannya ada di antara mereka.[]











apatis di ujung koridorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang