14. anak laki-laki baik dan tenang

23 1 0
                                    

Waktu di ruang kelas akan lebih sempit ketika sudah menginjak bangku tahun ke tiga. Baru saja kemarin saya dengan Yasir membahas jurusan kuliah yang akan dituju serta ribut perkara ulangan dan kisi-kisi dadakannya, sekarang kita sudah ditekankan untuk persiapan try out ujian nasional berbasis komputer. Sudah selama itu memang, tetapi tidak terasa. Bahkan rasanya baru saja kemarin pagi saya tahu nama dari temannya Astronaut Kelautan itu Ina. Sampai akhirnya berjalan dari minggu ke pergantian bulan, habis untuk mengumpulkan ketidaksadaran dalam tidak sengajanya memperhatikan Ina.

Saya fokus menatap layar bertuliskan windows di komputer selagi menunggu pergantian giliran. Kebetulan kita duduk berjajar lurus ke belakang berdasarkan nomor absen. Saya tidak banyak mengobrol dengan teman sebangku saya, seperti biasanya. Ketika ribut searah pintu terdengar, pandangan saya teralihkan. Rombongan IPA satu sedang berbaris untuk siap menggantikan kami di kursi. Satu orang, dua orang, barisan semakin panjang memenuhi kelas bagian depan sementara kami masih duduk di kursi, menunggu barisan ujung sebelah kiri keluar terlebih dahulu.

Sempat ada jeda sehingga mereka terjebak dalam barisan panjang di depan kelas. Beberapa di antara mereka terlihat saling sapa dengan anak di kelas kami saking gabut-nya. Lalu sampai ketika barisan berjalan kembali, saya melihat Astronaut Kelautan. Otak saya memproses cepat sekali, jika sudah ada Landi pasti ada juga dia, dan benar, Ina berdiri di belakang punggungnya.

Saya menangkap sorot mata Landi yang sedang menghadap ke arah meja saya, segera diikuti Ina beberapa detik kemudian. Saya sempat menerka apa gerangan yang membuat mereka berdua saling tersenyum satu sama lain, seperti sedang berbicara memberi kode lewat mata. Lalu sekali lagi mencuri-curi pandangan, gelagat perempuan ketika salah tingkah menguar di wajah keduanya. Ada apa ini?

Antara saya yang terlalu sok tahu atau dugaan saya dalam membaca wajah mereka benar.

Ketika saya melihat teman di samping saya, ia sedang sibuk mengobrol dengan siswa yang duduk di seberangnya. Mata saya kembali ke sana dan menemukan sorot mata yang kini bertahan lebih dari sepuluh detik, tidak bisa dialihkan bahkan oleh langkah barisan yang sudah bergerak. Tatapan yang terkunci lama, seperti memerhatikan sekaligus mengagumi. Saya melirik teman di samping saya kembali, lantas ke depan lagi. Melirik dia... kembali ke depan lagi.

Kini saya mengerti.

Semua remaja Smansa juga tahu walau tanpa harus merasakan kasmaran terlebih dahulu, apa maksud dari rona tatapan yang seperti itu. Tatapan enggan teralih, yang bertahan lebih dari hitungan jari, seperti diam-diam menunggu untuk berharap dilirik kembali, atau bahkan sengaja cepat-cepat berpaling sebelum menerima balasan mata-ke mata. Sembari menahan ketidaksanggupan, sementara dalam hati menggebu-gebu.

Tepat ketika Landi mengukir senyuman miring dengan satu sudut bibir yang terangkat searah wajah Ina, saya melihat teman saya di samping sudah lurus menatap ke arah mereka. Satu lengan yang dilingkari jam tangan hitamnya naik di atas meja, kakinya terbuka lebar. Sering dia mengajari saya cara menurunkan angka dalam Matematika, kini mata saya perlahan tertutup untuk melihat kebaikannya. Anak laki-laki yang tidak banyak tingkah, tetapi selalu ambisius di semua hal ini sedang saya tatap sinis. Berapa kali pun saya mencari di mana letak kurangnya, tidak kunjung ada yang muncul.

Saya tidak mengakui pernah menaruh perasaan kepada Ina, tetapi untuk pertama kalinya saya tidak menyukai kehadiran teman kelas saya yang satu ini tanpa tahu apa penyebab pastinya. Ina sekarang sedang menunjukkan kesamaannya dengan orang-orang kebanyakan. Ina tidak berbeda dari yang seperti saya kira sebelumnya. Ina sama seperti anak perempuan Smansa lainnya yang menaruh perasaan diam-diam kepada seorang Handawira.[]












apatis di ujung koridorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang