Srek srek srek
Suara daging yang di iris sungguh menggelitik telingaku. Ku lirik diam-diam pria yang sedang mengirisi danging steik miliknya.
Jika melihat wajahnya, ku rasa pria itu berusia sekitar 22 atau 23 tahun. Tubuhnya tinggi semampai mungkin 186 cm atau 190 cm. Ya, kira-kira setinggi itu. Kulitnya putih, namun tidak seputih maupun sepucat kulit Violaine. Maksudku, kulitku saat ini. Rambut pria itu memiliki warna hitam gelap. Sedangkan kedua bola matanya memiliki warna coklat keemasan yang apabila terkena sinar matahari warna keemasannya akan terlihat lebih jelas.
Tak!
Pria itu mengangkat garpu dengan potongan daging yang sudah menancap di ujungnya. Daging itu terlihat sangat lembut, seperti puding susu yang bergerak ke kanan-kiri ketika disentuh. Tak hanya itu, saus berwarna coklat terlihat kental seperti karamel yang baru saja keluar dari wajan. Dengan perlahan pria itu memasukkan potongan dagingnya ke dalam mulutnya. Rahangnya bergerak ke kanan dan ke kiri, mengunyah daging itu. Setelah beberapa kunyahan, jakun pria itu bergerak naik kemudian turun, menelan potongan daging tersebut.
Aku mengalihkan pandanganku dan memandangi daging yang ada di piringku. Daging milikku terlihat berbeda dengan milik pria yang ada di hadapanku. Jika dibandingkan, daging milik pria itu berwarna kecoklatan dengan sedikit warna merah di tengahnya. Sedangkan milikku, dagingku terlihat sangat segar. Biar ku perjelas, sangat segar, mentah dan merah. Tidak hanya itu, saus milikku memiliki warna yang lebih terang, yakni warna merah gelap yang kental dan pekat. Seperti darah segar.
"Tidak dimakan?"
Tubuhku terkesiap mendengar pria itu mengucapkan pertanyaan pertamanya kepadaku.
Aku tersenyum setenang mungkin.
"Memakan daging sebagai sarapan itu sedikit berat untuk perutku."
Pria itu menghentikan tangannya yang sedang mengiris daging. Kedua matanya bergerak dan menatapku tajam.
Deg
Jantungku berhenti untuk sesaat. Sensasi merinding menjalar dari punggung hingga ke tengkuk leherku. Aku pun mengalihkan pandanganku. Aku tidak berani menatapnya. Entah kenapa pria itu sangat menakutkan bagiku. Tubuhku terus menerus menegang setiap kali pria itu menatapku maupun berbicara padaku. Aku tidak tahu apakah ini memang respon alami tubuhku setiap kali berhadapan dengan pria ini atau ini hanya respon berlebihanku karena terus kepikiran peringatan dari Cecile beberapa waktu yang lalu.
"Nona, pria yang akan Anda temui nanti adalah kakak tiri Anda."
"Kakak tiriku?"
"Benar, nona. Kakak tiri Anda. Beliau bernama Xavier Adler De Fonsahz. Tuan Muda Xavier merupakan calon penerus gelar Marquis dalam keluarga ini. Sedangkan Anda, Violaine Zoya De Fonsahz. Anda adalah... anak haram dalam keluarga ini. Karena kenyataan inilah Tuan Muda Xavier sangat membenci Anda."
Ugh, sialan. Dari sekian banyak referensi dan pilihan kehidupan, kenapa aku harus menjadi anak haram di dalam keluarga bangsawan? Ini sih sempurna sekali sebagai latar belakang seorang penjahat, Violaine si villain.
Clank!
Tubuhku kembali terkesiap akibat suara dentingan alat makan.
Pria itu, Xavier, meletakkan garpu dan pisaunya. Ia menyeka bibirnya dengan serbet.
Dreeett
Xavier beranjak dari duduknya. Kedua matanya dengan lekat menatapku tajam. Sedangkan kedua kakinya berjalan ke arahku.
Tap tap tap tap
Otot tubuhku semakin menegang. Kakiku bergerak gelisah, naik dan turun secara berulang kali. Seluruh telapak tanganku basah bahkan aku bisa merasakan keringat yang mengalir turun dari pelipisku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renascence: The Lady In Purple
Ficción históricaPercayakah kau bahwa setiap manusia memiliki beberapa kehidupan sebelum kehidupannya saat ini? Tidakkah kau penasaran dahulu kau hidup sebagai siapa? Jaksa, pangeran/putri kerajaan, atau justru seorang penjahat yang jenius? Laras Eliza, seorang maha...