Chap 05

699 89 6
                                    

Malam harinya, sepulang Kenzi makan malam dari suatu kedai yang tak jauh dari rumahnya. Ia kembali teringat dengan ucapan Hana serta ayahnya yang mengatakan bahwa dirinya seorang pembunuh. Tidak seperti di sore hari, entah kenapa saat malam hari, hal menyakitkan itu dapat teringat dengan jelas, terlebih lagi di dalam kesunyian tanpa seorang pun yang berada di sekitarnya.

Kenzi yang telah tiba di teras rumahnya, menutup kedua telinganya dan seketika badannya ambruk. "Tidak... Bukan... Aku bukan pembunuh, jangan... Maafkan aku, ku mohon... TIDAAAAAKKK!!!!!" Kenzi berteriak di akhir kalimatnya, ia menenggelamkan kepalanya pada kedua tangan yang masih setia menutup kedua telinganya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya yang kecil, rasa gelisah dan ketakutan semakin menjadi. Bayangan Hana yang histeris ketika melihatnya, terasa lebih menyeramkan dari pertama yang ia lihat.

Seorang pria dewasa datang berlari menghampiri Kenzi yang masih saja berteriak histeris. "Hei nak, kau kenapa?" Tanya nya sembari mengusap lembut pundak Kenzi. "Maaf... Maafkan aku... Ku mohon maafkan aku... Aku bukan pembunuh, maafkan aku..." Kenzi masih saja meracau membuat orang tersebut bingung.

"Tenanglah, kendalikan diri mu ok?! Tenangkan pikiran mu, ambil nafas secara perlahan lahan." Bujuk pria dewasa itu dengan sangat lembut agar Kenzi dapat tenang. Namun usahanya gagal, meski pria itu sudah mencobanya berulang ulang kali, tetap saja Kenzi tak dapat menenangkan dirinya. Hingga akhirnya pria dewasa tersebut membuka tasnya dan mengambil sebuah kapas, alkohol, suntikan dan botol kecil yang berisikan cairan, entah apa itu, hanya dia yang tau.

Kapas tersebut ia basahi dengan alkohol, lalu menarik salah satu tangan Kenzi, dan ia tempelkan disana. Setelahnya suntikan yang sudah ia isikan dengan cairan pada botol kecil itu, ia suntikan ke tangan Kenzi yang sebelumnya sudah di basahi dengan kapas yang berlumurkan alkohol. Tak lama kemudian, suara racauan Kenzi tak lagi terdengar, Kenzi mula tenang dan memejamkan kedua matanya. Tubuh kecil itu jatuh dalam pelukan pria dewasa tersebut. Yang lebih tua tersenyum, mengemasi barang barang yang ia keluarkan ke dalam tasnya. Lalu menggendong Kenzi dan membawanya pergi entah kemana.

Pagi menjelang... Suara kicauan burung begitu ramai, sepasang mata milik Kenzi mulai membuka secara perlahan lahan, menyesuaikan cahaya mentari yang masuk dan menerpa hangat wajah sedihnya.
Setelah terbuka, Kenzi hanya menatap langit langit suatu kamar, dan memperhatikan sekitarnya.
"Ku rasa, kamar yang ku miliki tidak seperti ini bentuknya. Apa aku berada di kamar yang berbeda? Tapi... Seinget ku, aku belum masuk ke kamar semalam, apa aku lupa." Gumam Kenzi.

"Ckreeek..." Suara pintu terbuka, membuat atensi Kenzi beralih kesana. Ia melihat seorang pria dewasa dengan setelan jas putihnya tengah membawa sebuah nampan yang berisikan segelas air putih dan juga sepiring nasi goreng.

"Kau sudah bangun. Tepat sekali kalau begitu, aku sudah menyiapkan mu sarapan. Bangun dan makan lah." Ujar pria itu dan Kenzi mengikuti apa katanya. Kenzi duduk dengan bersandar pada kepala ranjang tersebut.

"Maaf, paman siapa?" Tanya Kenzi ketika pria itu sudah duduk di tepi ranjang dekat dengannya.

"Aku Nakai Arai, seorang dokter. Semalam aku menemukan mu histeris di depan rumah sebelah. Karena kau tidak juga mendengarkan apa yang ku suruh, jadi aku memberikan mu obat penenang, dan membawa mu ke rumah ku. Ini makanlah." Titah pria itu yang bernama Arai.

"Maaf sudah merepotkan paman." Ucap Kenzi dengan sendu dan memandangi nasi goreng itu.

"Terima kasih."

"Huh?" Kenzi nampak bingung dan menaikkan wajahnya untuk melihat wajah Arai.

"Kau seharusnya mengatakan terima kasih, bukan meminta maaf." Ucapnya lembut sambil membelai pucuk kepala Kenzi. Dan entah mengapa, hati Kenzi merasa hangat menerima perlakuan dari Arai. "Aku baru melihat mu, siapa nama mu nak?"

"Miyamura Kenzi."

Arai menatap dalam mata Kenzi, ia memperhatikan apa pun yang di lakukan oleh Kenzi. "Kenzi ya... Berapa usia mu?"
"Dua belas tahun."

"Apa kau tinggal di rumah sebelah? Maksud ku rumah yang memiliki pohon sakura disana?"

"Iya, aku baru pindah kemarin. Itu rumah ibu ku."

"Mungkin kah kamu anaknya kak Sakura?"

"Iya benar."

"Pantas saja wajah mu nampak tidak asing, aku merupakan teman masa kecilnya kak Sakura, kita berbeda usia dua tahun. Ku dengar kak Sakura sudah meninggal ya, aku tidak bisa datang ke acara pemakaman nya karena pada saat itu aku sedang berada di luar negri, dinas disana."

"Tak apa paman. Berarti paman juga temannya paman Toru?"

"Iya... Mereka berdua saat masih kecilnya sangatlah nakal, dan aku korban dari kenakalan mereka. Haah... Aku jadi merindukan masa kecil dulu."

Seutas senyuman terpajang di wajah Arai dan Kenzi, nampaknya Kenzi sangat senang mendengar cerita tentang ibunya dari teman temannya yang berada di kampung halamannya ini.
"Aku ingin mendengar cerita tentang masa kecil ibu ku paman." Ujar Kenzi antusias.

"Baiklah, tapi nanti malam sepulang ku kerja. Dan itu dengan suatu syarat."

"Apa syaratnya paman?"

"Pertama, kau harus menghabiskan sarapan ini. Aku sudah susah payah lho memasaknya, dan ku jamin pasti rasanya enak. Dan yang kedua, kau harus menceritakan pada ku masalah apa yang kau alami. Aku ini seorang dokter, meski pun bukan seorang psikiater tapi aku mempelajari tentang psikologi. Melihat kau histeris semalam, dan melihat mu saat ini, membuat ku yakin kau tengah mengalami suatu masalah yang membuat mu tertekan dan terguncang. Bagaimana? Mungkin aku tidak bisa menyembuhkan mu karena aku hanya seorang dokter umum, tapi aku bisa menjadi teman bicara mu, dan aku bisa mengusulkan dokter psikolog terbaik."

"Syarat pertama aku bisa, tapi yang ke dua..." Kenzi nampak ragu.

"Percaya padaku, lebih baik kau memiliki seorang dokter yang mengetahui kondisi mu dari pada tidak satu pun. Jadi sewaktu waktu jika kau mulai merasa cemas, kau bisa mendatangi ku. Dan aku akan menenangkan mu."

Kenzi diam sesaat, ia merasa apa yang di katakan oleh Arai ada benarnya. Dia juga butuh seseorang yang memahami tentang keadaannya, apa lagi saat ini ia hidup seorang diri. Kakak yang sangat sayang padanya tak lagi berada di sisinya, dan mungkin saja Shin sekarang membencinya ketika melihat adik kesayangannya mendorong ibu dirinya hingga keguguran tepat di hadapan teman temannya. Bisa jadi kakaknya sekarang merasa malu memiliki adik sepertinya, mungkin saja teman temannya mengguncing kakaknya karena kelakuan jahat sang adik. Jadi Kenzi tidak boleh berharap lebih kalau Shin, kakaknya, masih sangat menyayangi nya seperti dulu. Kenzi merasa harus sadar diri, karena dia sekarang seorang pembunuh. Siapa pun tak akan mau memiliki adik pembunuh.

Tapi, jika Kenzi bercerita pada Arai... Apakah mungkin dia masih mau menerima Kenzi setelah tau bahwa Kenzi merupakan seorang pembunuh?
'Tapi... Paman Toru dan nenek Taki masih mau menerima ku, mungkin saja paman Arai juga sama. Apa lagi dia dokter kan? Paman Arai sudah sedikit mengetahui tentang ku kan? Jadi tidak masalah bukan?' Monolog Kenzi di dalam hatinya.

"Baiklah paman Arai, aku menerima syarat mu." Ujar Kenzi dengan tersenyum, lalu ia memakan nasi goreng buatan Arai.

Help Me! (18+ / Ended)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang