12 : memory

147 26 4
                                    

Dunianya seakan runtuh, warnanya kembali menjadi monoton

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dunianya seakan runtuh, warnanya kembali menjadi monoton. Kehidupan hitam putih, tidak jelas arah tujuannya.

Deburan air laut menemani malamnya yang sunyi, dengan berbagai prasangka buruk yang berputar didalam kepalanya.

Ia sudah berhenti menangis sejak kemarin, bibirnya seakan kelu, hanya merenung diam dalam kesendirian, enggan mengucapkan barang sekata pun.

Perutnya tidak ia isi sama sekali, kenyang memakan omong kosong Hyunjin. Sangat mengenyangkan. Hingga rasanya ingin memuntahkan isi perutnya.

Setelah peristiwa tersebut, ia pergi dari apartemen. Tak peduli apapun yang akan terjadi nantinya, dirinya hanya butuh rehat sebentar, paling tidak menjernihkan kembali pikirannya.

Ia berjalan menelusuri bibir pantai dalam diam, ditemani sang penguasa malam yang bersinar terang seakan menatap si pirang. Sungguh, nasibnya buruk sekali.

Dirasa lelah, dia berjongkok, menatap batu kerikil diatas pasir putih tersebut. Sekelebat memori lama terlintas, ketika mereka–dirinya dan Hyunjin–berumur enam tahun.

Mereka bertanding, barang siapa yang mampu menumpuk sepuluh buah batu terlebih dahulu, ia pemenangnya. Yah, ekspetasi tak seindah realita. Baru menumpuk lima buah batu, namun ombak kecil di bibir pantai melahab tumpukan tersebut, hancur.

Felix tertawa miris mengingatnya. Oh, ayolah. Itu sebuah memori bahagia namun ini bukan saatnya tertawa bahagia kan?

Terlalu banyak kenangan manis, namun pahit rasanya ketika diingat.

Dirinya bangkit, beranjak pulang menuju kos-kosan milik Jisung. Felix menumpang beberapa hari disana.

"Darimana aja lo? Ah, terserah lah, ga penting. Ayo masuk dulu, lo pasti capek."

Jisung tahu tentang konflik yang dihadapi Felix. Tetapi pemuda itu mencoba tak mencampuri, hanya memberi sedikit saran dan solusi. Kemudian menawarkan untuk menginap bersama di kost-an kecilnya.

"Jadi, gimana?" tanya Jisung.

"Udah jelas 'kan? Kami putus. Mungkin mereka sekarang lagi ngerencanain pernikahan." ia tertawa sarkastik.

"Coba buat untuk meng-ikhlaskan. Besok coba kita pergi ibadah, siapa tahu hati lo jadi lebih tenang."

Si lawan bicara hanya mengangguk, paham. Kemudian memilih tidur dengan segera, menghindari perbincangan malam yang justru cocok untuk sesi deeptalk.

Takut tangisnya pecah.

Kemudian muncul notifikasi dari ponsel pintar milik Felix yang baru–karena yang lama sudah menjadi kepingan rongsokan.

Hyj
/send file
Undangan.pdf
Jangan lupa datang, ya.
Dan aku minta maaf.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
found and lostWhere stories live. Discover now