Petikan gitar dari tangan Suheil mulai mengalun indah, mengisi kesunyian ruangan kecil yang disediakan sekolah khusus dilengkapi alat-alat musik. Di tempat ini biasanya Suheil berlatih mengasah kemampuan memainkan berbagai alat musik, seperti gitar, piano, drum hingga biola. Lusa nanti Suheil tampil dalam lomba bernyanyi, ia sudah terpilih masuk dalam sepuluh besar dari sekian peserta yang mengikuti lomba tersebut. Katanya hadiah utama lomba sangat besar, makanya Suheil bertekad untuk bisa menjadi juara. Dengan berlatih setiap hari, sesekali dia juga meminta untuk ditemani.
Seperti saat ini, aku duduk di hadapan Suheil dengan menyilangkan kaki. Memperhatikan dia memainkan gitar dan mendengarkannya yang sesekali bernyanyi. Suaranya yang bening mampu membuatku merasakan kelembutan hatinya. Dia selalu membuatku tersentuh karena bernyanyi dari dalam hati, sungguh menghayati. Terutama tatapan mata hitamnya yang menatapku penuh cinta. Memang pantas jika siswi di kelasnya menyukai sikap lemah lembut Suheil, bahkan parasnya yang seperti orang timur tengah hampir membuatku khilaf mencintainya. Bukan apa, aku sudah menganggapnya saudara kandung seperti Jefan. Kami bertiga bertetangga dan tumbuh dari kecil bersama. Tidak pantas apabila aku mempunyai perasaan yang lebih, aku takut pertemanan selama bertahun-tahun akan hancur hanya karena rasa cinta.
Lagipula, aku yakin Suheil sudah menemukan cintanya. Walaupun dia belum mengenalkan kepadaku ataupun kepada Jefan. Bukan aku mengada-ada, Ibu Suheil sendiri yang bilang. Katanya dia pernah memergoki Suheil tersenyum saat memandangi foto, tapi belum sempat melihat siapa yang ada di foto, Suheil langsung menutupinya. Aku dan Jefan juga pernah menggodanya, menanyai hal itu. Tapi Suheil tetap menutupinya dan berjanji akan memberitahukan siapa perempuan itu diwaktu yang tepat.
"Bukan ku memaksamu Tuhan ... tapi ku cinta dia ...."
Tak terasa Suheil sudah menyelesaikan latihannya. Dia kembali melekatkan gitar ke tempat awal dan menghampiriku.
"Kamu pulang sama aku ya, tunggu di luar dulu. Aku mau ngambil tas di kelas," katanya. Setelah itu keluar ruangan, aku ikut menyusul menunggunya di depan ruangan.
Suasana sekolah sudah mulai sunyi, hari juga semakin gelap. Beruntung cucian hari ini tidak terlalu banyak, aku bisa mencucinya besok atau lusa. Semenjak Ibu meninggal beberapa tahun yang lalu, aku sudah harus membiasakan diri mengurus rumah dan melayani kebutuhan di rumah untuk Bang Rey dan Ayah. Termasuk belajar memasak agar bisa setara dengan masakan Ibu. Sesekali Bang Rey menegurku untuk mengurangi penggunaan garam di setiap masakan, beda sekali dengan Ayah yang tanpa protes selalu melahap makananku dengan tenang.
Aku jadi kangen Ayah, Dia sudah lama tidak mengabari ku barang lewat SMS atau telepon. Dia masih berada di luar kota, bekerja sebagai kuli bangunan. Sebelum Ibu pergi, Ayah adalah pemilik dari pabrik tekstil. Pada masanya pabrik Ayah berjalan lancar bahkan berhasil meraup banyak keuntungan setiap bulannya. Namun, orang kepercayaan keluarga kami menghianati Ayah dengan menjual pabrik kepada orang asing dan berhasil menghilang sampai saat ini. Semenjak saat itu, Ibu mulai sakit-sakitan hingga meninggal.
Astaghfirullah...
Kenapa aku jadi mengingat itu. Aku harus ikhlas, toh Ayah juga sudah ikhlas menerima semuanya."Berduaan sama yang bukan mahram satu ruangan itu enggak baik," ucap Kak Rassya yang melewati ku begitu saja. Aku sempat berkedip-kedip, apa maksudnya tadi? Aku mengejarnya yang belum jauh pergi, untuk menanyakan sepeda dan keripik.
"Kak," panggilku yang membuatnya berhenti. "Sebelumnya, terima kasih Kak, berkat bantuan Kak Rassya tadi pagi. Hm ... sepeda sama keripiknya ...," kataku menggantung.
"Maaf, sepeda kamu ada kerusakan, mungkin besok atau lusa aku anterin ke rumah. Buat keripik, aku beli semua ya, Ini." Kak Rassya menyodorkan ku dua lembar uang berwarna merah. Aku menerimanya dengan ragu.
"Terima kasih Kak, apa kerusakan di sepeda parah banget? Atau biar temen aku aja yang benerin, kebetulan temenku buka bengkel," saran ku hati-hati.
"Sya! Ayo pulang!" teriak cewek yang menghampiri kami. Perawakannya seperti model remaja, rambut panjangnya juga terurai indah, bergelombang di bagian bawah. Kak Rassya menatapnya kemudian melirikku.
Aku beralih menatap ke ujung lorong, Suheil melambaikan tangan ke arahku untuk segera mendekat. Lagipula jika aku terus di sini, hanya menjadi nyamuk di antara mereka. Aku beranjak tanpa pamit, hanya tersenyum dan menundukkan kepala. Setelahnya aku bisa melihat dari ekor mata, cewek itu merangkul tangan Kak Rassya.
Apa mereka punya hubungan?***
Di part ini aku adain Heilqeel!Kira-kira siapa ya, perempuan yang disukain Suheil?
Siapa juga nih yang berani gandeng tangan Rassya?! Gak terima aku!
Part selanjutnya, scene Aqeela sama siapa?
Rassya?
Suheil?
Farel?
Atau... Bang Rey?
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR || Aqeela
ChickLit[FOLLOW SEBELUM BACA] Takdir yang selalu bahagia tanpa ada musibah adalah kemustahilan. Aqeela Calista menggantungkan banyak harapan di masa depan. Satu persatu kenyataan menamparnya, berkali-kali. Membuat dia tersadar hidup tidak selalu tentang bah...