"Loh, Ayah dari mana?" tanyaku melihat Ayah yang masuk rumah dengan kantung plastik di tangan kanannya. Jalannya masih kesusahan, aku membantunya untuk duduk di kursi ruang makan.
"Belanja, kamu masih ada waktu buat masak? Ayah mau sarapan buatan kamu." Aku mengeluarkan bahan makanan dari kantung plastik yang Ayah bawa.
Aku mengangguk. "Masih ada setengah jam, sengaja aku siap-siap lebih awal, buat bikinin Ayah sarapan. Lagian di kulkas masih banyak bahan makanan kok." Aku mulai membawa bahan makanan ke dapur, mengikat rambut ke atas, untuk leluasa bergerak.
"Di kulkas enggak ada daging ayam, jadi Ayah beli tadi. Ayah kangen masakan ibu kamu, ayam kecap manis. Kamu buatin ya ...."
"Siap bos!" balasku.
Aku memulai dengan mencuci beberapa paha ayam, dan memasukkan ke dalam wajan yang berukuran sedang berisi air, menaruhnya di atas kompor. Memasukkan daun salam, potongan kecil laos dan menaburkan sedikit garam lalu menyalakan kompor.
Setelah kadar air tersisa sedikit, aku mematikan kompor. Memasukkan berbagai bumbu, kemudian terakhir menuangkan kecap manis secukupnya. Kembali mwnyalakan kompor menunggunya sampai matang.
Aku menghidangkan ayam kecap dan tumis sawi putih ke dalam wadah kecil. Karena memang aku hanya membuat sedikit, untuk Ayah dan Bang Rey saja. Setelahnya aku letakkan ke meja makan. Tidak lupa membuat teh hangat tawar untuk Ayah.
"Aromanya enak nih," timpal Bang Rey yang langsung duduk di hadapan Ayah. Dengan mudahnya, Bang Rey mengambil paha ayam paling besar tanpa menunggu Ayah. Aku meneguk saliva, dia bahkan tidak menawarkan ku untuk ikut makan. Lihat tingkahnya sudah seperti anak kecil, pipi dan hidung dipenuhi kecap.
"Makan Ayah," tawar ku mengambilkan Ayah seporsi nasi hangat. "Kayaknya lagi ada yang bahagia ya Yah?" Aku memberi kode lirikan ke arah Bang Rey kepada Ayah.
"Iya betul," balas Ayah yang mengerti maksudku. "Ini tanggal muda, ada yang gajian?"
"Bisa dong, beliin aku sesuatu?" godaku tersenyum penuh harapan.
"Enggak!"
Senyumku luntur begitu saja mendengar balasan dari Bang Rey. Dengan cepat mengambil wadah ayam kecap yang hendak Bang Rey raih, membuat dia melotot ke arahku. Dikira aku akan takut apa, aku julurkan lidah membuatnya tambah kesal.
"Udah udah." Ayah menengahi kami, kemudian aku meletakkan wadah itu ke tempat semula. "Emang Aqeela mau dibeliin apa?"
"Enggak banyak Yah," balasku melirik Bang Rey. "Cukup motor warna biru ...," lanjut ku mendekatkan ke telinga Bang Rey untuk mengode.
"Eh Suheil. Masuk sini," ucap Bang Rey menghiraukan ku. Jelas saja aku langsung melepas wajah memelas.
Suheil masuk menghampiri meja makan. Bersalaman dengan Ayah dan berbincang kecil saling menanyakan kabar, kemudian beralih menatapku. "Ayo berangkat, udah siang ini," ajak Suheil, aku mengangguk sebagai jawaban dan berjalan ke arah sofa mengambil tas punggung.
"Kok enggak makan dulu?" tanya Ayah setelah meneguk teh tawar hangatnya.
"Enggak Yah, udah siang. Nanti bisa sarapan di kantin," balasku mencium punggung tangan kanan Ayah, disusul Suheil. Hendak beralih pamit ke Bang Rey, tapi dia menolak karena tangannya yang kotor.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku dan Suheil keluar rumah, menghampiri sepeda yang sudah terparkir di pekarangan. Suheil memegang setir, mempersilakan aku naik dulu di jok belakang kemudian Suheil mulai menggoes sepeda.
"Tumben enggak bawa motor?" tanyaku.
"Pulang sekolah mau ke tempat lomba bareng Jefan, pake motornya Jefan. Ada urusan yang belum selesai, lusa nanti masuk final," balas Suheil menengok ke belakang sambil tersenyum lebar.
"Wih ... kemarin-kemarin baru dapet kabar kamu masuk grand final, sekarang udah masuh ke final. Harus menang ya ...." Aku menguatkan pegangan pada pinggang Suheil, karena dia menggoes lebih cepat.
"Harus dong. Kamu harus lihat juga nanti."
"Okey."
Cuaca hari ini tidak terlalu bagus, langit mulai menghitam. Sepertinya beberapa jam ke depan akan turun hujan. Padahal hari ini, aku ada pelajaran olahraga. Entah dilaksanakan indoor atau outdoor, aku sangat berharap akan dilakukan indoor. Karena aku tidak terlalu tertarik dengan pelajaran yang satu.
"Jefan bilang, kamu pindah piket mushola di istirahat pagi," ucap Suheil, tak terasa sudah masuk ke gerbang sekolah.
"Yahh ... padahal aku udah ada janji sama Saskia mau ke perpus," balasku sedikit kecewa.
Walaupun aku memiliki abjad awalan, tapi sebelumnya selalu dapat giliran di istirahat kedua. Memang tidak setiap hari, hanya satu bulan sekali per kelompok, itupun bergiliran dengan kelas lain. Tapi ya sudah lah.
"Mau aku bilangin ke pengurusnya?" tawar Suheil sambil memarkirkan sepeda, aku turun dengan bantuannya.
"Enggak usah, paling cuma sebentar, kan kelompok," tolak ku lembut, Suheil hanya mengangguk sebagai respon.
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR || Aqeela
Chick-Lit[FOLLOW SEBELUM BACA] Takdir yang selalu bahagia tanpa ada musibah adalah kemustahilan. Aqeela Calista menggantungkan banyak harapan di masa depan. Satu persatu kenyataan menamparnya, berkali-kali. Membuat dia tersadar hidup tidak selalu tentang bah...