15. Tentang Farel ...

183 27 6
                                    

Sore ini aku memutuskan untuk pergi berbelanja kebutuhan rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sore ini aku memutuskan untuk pergi berbelanja kebutuhan rumah. Tidak ingin lagi merepotkan semuanya kepada Keluarga Suheil. Toh, aku juga besok sudah mulai berangkat sekolah. Harus lebih rajin lagi.

Setelah kedatangan teman-teman ku pagi tadi, mereka menghabiskan waktu istirahat ku sampai siang. Aku harus bergegas belanja sebelum matahari terbenam. Karena Saskia mengajakku ingin ke pasar malam, tak hanya ada Suheil dan Jefan saja, Kak Ratu juga ikut.

"Terima kasih," ucap pelayang di bagian kasir setelah menyodorkan selembar nota belanjaan kepadaku. Aku hanya tersenyum kemudian membawa belanjaan ke luar.

Aku menengok kanan kiri, mencari keberadaan angkutan umum. Sengaja tidak menggunakan sepeda, karena terlalu lelah untuk menggoes. Apalagi menggunakan sepeda motor, jelas saja aku belum bisa menggunakannya. Tapi Suheil menjanjikan ku untuk mengajariku mengendarai sepeda motor.

"Farel," ucapku lirih, melihat lelaki yang berjalan hendak ke arahku menggandeng tangan anak perempuan.

Aku sudah lama tidak melihatnya, bukan aku merindukannya ya, catat itu. Hanya ingin mengucapkan terima kasih atas perhatiannya selama satu minggu ini, selalu memberiku sesuatu lewat Saskia. Walaupun aku tidak menerimanya, menyerahkan banyak pemberiannya kepada Saskia.

Memutuskan untuk berjalan mendekatinya, sekedar untuk mengucapkan terima kasih dan menyuruhnya berhenti memberikan aku apapun itu. Aku belum yakin terhadapnya, terlebih aku belum mengetahui motif apa yang ia gunakan untuk mendekatiku.

"Aqeela, di sini juga?" Farel menyapaku kemudian melirik tas belanjaan yang kubawa. "Mau aku bantuin?"

Aku menggeleng, refleks mundur dua langkah saat Farel hendak mengambil alih tas belanjaan. "Aku cuma mau--"

"Kakak ini pacarnya Kak Farel ya? Ikut aku yuk Kak ke rumah, pasti ibu udah masak banyak makanan. Yuk Kak." Bocah perempuan yang berdiri di sebelah Farel langsung menarik tanganku, aku sempat melirik Farel, kemudian dia mengangguk.

***

Setelah berjalan kaki dalam waktu sepuluh menit, aku, Farel dan Sifa--bocah perempuan yang baru aku ketahui namanya sampai di sebuah rumah sederhana, dengan cat tembok dominan kuning gading. Rumahnya tidak terlalu jauh denganku. Aku sering melewati rumah ini, terutama ketika mengambil pesanan keripik singkong. Tapi tidak pernah mendapati keberadaan Farel, apa benar ini rumahnya?

Aku duduk di bale-bale bambu, disusul Farel yang langsung merebahkan tubuhnya telentang di sampingku. Sedangkan Sifa berlari masuk ke dalam rumah, hendak memanggil seseorang.

"Ini bukan rumahku. Dulu enggak sengaja ketemu Sifa di jalan yang kesenggol motor, terus aku bantu, eh sampai sekarang dekat," jelas Farel masih di posisi yang sama, dia seperti tahu pertanyaan dalam pikiranku. Aku respon dengan mengangguk-anggukkan kepala.

Tak lama Sifa kembali menggandeng tangan wanita separuh baya, yang membuatku heran, Sifa seperti menuntun wanita itu berjalan. Saat mendongak, ternyata mata wanita itu tidak berfungsi. Segera aku ikut menuntun jalan mendekati kami.

"Kamu pacarnya Farel?" tanya wanita itu, menggenggam tanganku.

"Bukan Bu, cuma teman," balasku cepat tidak ingin membuat kesalahpahaman. Aku sempat melirik Farel yang ternyata menunduk cemberut, seperti tidak puas dengan penuturan ku.

"Oalah, ya sudah. Ayo masuk, kita makan," ajak wanita itu, aku menoleh pada Farel kemudian dia mengangguk. Setelahnya aku kembali menuntun Ibu Sifa ke dalam rumah. Sifa dan Farel bergandengan masuk ke rumah.

Kami sampai ke ruang makan sederhana. Farel menemani Sifa bermain boneka, sedangkan aku membantu Ibu Sifa meletakkan sejumlah peralatan makan dan masakan ke meja makan. Walaupun penglihatan Ibu Sifa tidak berfungsi, tapi beliau bisa melakukan apapun sendiri, termasuk meletakkan piring ke tempatnya tanpa dibantu. Keadaan interior rumah juga bisa dibilang rapi.

"Kamu Aqeela bukan?" Aku menoleh ke arah Ibu Sifa. Kami berdua berada di dapur. Kenapa beliau bisa mengetahui namaku?

"Iya Bu," jawabku pelan.

"Farel sering cerita, tapi ternyata kalian enggak pacaran ya. Ibu sering mendadak menelepon Farel untuk datang ke rumah, permintaan Sifa yang selalu merengek ingin ketemu Farel. Berharap sekali Farel membawa kamu ke sini, alhamdulillah ... hari ini terwujud," jelas Ibu Sifa panjang lebar.

Aku termenung mendengar penuturan Ibu Sifa. Untuk apa Farel bercerita tentangnya kepada orang lain? Lalu apa saja yang diceritakan Farel tentang dirinya? Aku menggelengkan kepala, pertanyaan ini akan membuatku pusing, nanti saja aku tanyakan langsung kepada Farel. Tapi ada satu hal yang membuatku akhirnya mengerti, jadi saat dia menemui ku di gerbang sekolah, kemudian mendadak menerima telepon, itu dari Ibu Sifa? Apa barang-barang darinya untukku yang selalu dititipkan Saskia, itu karena panggilan telepon juga dari Ibu Sifa? Ishh ... kenapa aku jadi menerka-nerka tentang dia, toh mau dia ada perlu apapun bukan urusanku juga.

Aku segera menyusul Ibu Sifa yang ternyata sudah mendahuluiku ke ruang makan. Semua sudah tertata rapi, aku membuat mereka menunggu memulai makan. Aku duduk di kursi berhadapan dengan Farel.

"Aku mau udang," pinta Sifa manja, dengan cekatan Farel mengupas udang berukuran besar lalu diberikannya kepada Sifa. "Kak Aqeela mau?"

"Kak Aqeela enggak suka udang, semuanya buat Sifa saja," kata Farel cepat, membuatku bingung, dari mana dia tahu aku tidak menyukai berwarna oranye ini? Lebih tepatnya aku punya riwayat alergi terhadap hewan yang satu ini.

Farel menuangkan oseng bihun kecap pada piringku yang memang masih kosong, tentu saja aku dibuat tak enak hati, sebab pergerakan Farel tak luput dari penglihatan yang menatapku penuh senyum menggelikan.

Kami menghabiskan makanan dengan tenang, sesekali aku bisa melihat betapa manjanya Sifa terhadap Farel. Dan dengan senang hati, Farel selalu menuruti keinginan Sifa. Saat waktu sudah menjelang petang, aku dan Farel berpamitan untuk pulang. Ralat, aku yang pamit pulang, tapi Farel memaksa ingin menghantarkan ku pulang.

"Aku mau nanya, tapi kamu harus jawab jujur." Aku membuka suara saat di tengah perjalanan pulang. Farel menoleh kemudian mengangguk.

Berhenti berjalan, aku menarik napas dalam, sebelum bicara. "Apa yang udah kamu bicarain tentang aku ke Ibu Sifa?  Kamu bisa tahu dari mana kalo aku enggak suka udang? Kenapa kamu sering ngasih aku sesuatu melalui Saskia? Satu lagi, kenapa kamu ganti nama merek keripik singkongnya? Apa sih sebenarnya motif kamu?" tanyaku beruntun membuatnya menganga lebar, mungkin dia kaget dengan kekuatanku yang bicara hanya dengan satu tarikan napas. Aku tidak peduli!

"Aku harus jawab yang mana dulu?"

"Intinya, kenapa kamu lakuin itu semua?!" tanyaku dengan nada tinggi.

"Karena aku suka kamu!"

"Hah?!"

"KARENA AKU SUKA KAMU!"

"Ja--jadi ...."

"Jadi kamu mau enggak jadi pacar aku?"

***

Kaget enggak? Kaget enggak?
Kagetlah masa enggak!

Diterima enggak ya?🙃

Jangan lupa tekan bintang dipojok dan komen sebanyak-banyaknya 🧡🧡🧡

PETRICHOR || Aqeela Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang