"SUHEIL! TOLONG! ... AAA ...!"Brak
Lagi-lagi aku terjatuh dalam posisi yang tidak cantik. Suheil berlari dari arah belakang, menarik motor yang menindih kakiku.
"Ini itu motor bukan sepeda. Kalo mau berhenti kakinya jangan turun duluan. Kayak gini kan jadinya," omel Suheil membantuku duduk dengan benar.
Aku mengerucutkan bibir, latihan motor sudah dari tiga jam lalu. Matahari juga hendak terbenam. Tapi aku tak kunjung bisa mengendarai motor dengan baik. Huh ... jika tahu sesusah ini, memang paling nyaman dan mudah mengendarai sepeda kesayanganku.
"Mau latihan lagi?"
Aku mendongak, menatap Suheil yang membelakangi sinar matahari dari barat. Aku tidak akan menyerah sampai di sini, harus tetap berlatih sampai bener-bener bisa. Kepalaku mengangguk.
"Ya udah ayo."
"Ha?"
"Kali ini, aku juga ikut di belakang. Biar lebih aman."
Entah kenapa, sekarang ini tidak merasakan gugup jika berada di dekat Suheil. Perasaan yang murni hanya teman dan saudara. Cukup membuatku tenang di masa depan. Bukan kah lebih baik begini.
"Relaks aja, santai," ucap Suheil tepat di telingaku, aku mengangguk pelan.
Perlahan mengemudikan motor, tangan Suheil berada di punggung tanganku. Berjaga-jaga jika aku menarik gas terlalu kencang. Untuk beberapa meter, aku bisa melewatinya tanpa kendala.
"Coba sekarang putar balik," titah Suheil dan lagi aku hanya mengangguk.
Tak disangka hanya putar balik saja, susah sekali. Aku harus membelokkan stang motor dan menjaga keseimbangan agar tidak jatuh, terlebih motor ini sangat berat. Berbeda sekali dengan sepeda, hanya dengan mengangkat dan memutarnya langsung, lagi-lagi aku membandingkan motor dan sepeda. Dan hampir saja jatuh jika kaki Suheil tidak langsung turun.
"Mau sekalian pulang? Kamu pegang kaca spion aja."
Aku menggeleng. Jelas aku menolak, masa pulang dengan aku duduk di depan, memangnya aku anak kecil. "Aku haus banget. Ada penjual Deket sini enggak si?" Alasanku, aku tidak ingin jadi tontonan di jalan nanti.
"Ya udah, kamu tunggu di sini. Aku cari warung dulu." Setelahnya Suheil pergi dengan motor dan aku menunggunya di pinggir jalan.
Sebenarnya jalan yang lenggang ini jarang dilalui orang, tapi sangat aman untuk sekadar belajar motor. Berjarak dekat dengan gedung pabrik tua yang sudah tidak beroperasi, terkadang ada satpam yang berkeliling untuk berjaga-jaga.
"Aqeela!"
Eh, kenapa ada Kak Rassya di sini?
"Sendirian?" Dia turun dari sepeda gunungnya.
Aku menggeleng. "Sama Suheil, dia lagi beli minum. Kak Rassya kenapa ada di sini?"
"Tau dari Saskia. Mau ngambil keripik ke pabrik enggak?"
Siang tadi Mbak Mia mengirimiku pesan, bahwa keripik pesanku kali ini sudah dikirim ke rumah langsung. Mungkin sudah ada di pekarangan rumah.
"Kayaknya enggak perlu ke pabrik deh Kak. Keripiknya udah ada di rumah."
"Oh, ya udah. Ayo pulang."
Aku meringis, masa iya aku meninggalkan Suheil. "Nunggu Suheil dulu Kak."
"Suheil bawa motor, bisa pulang sendiri. Kamu bareng--"
Suara motor yang Suheil tunggangi menderu dari arah belakang. Saat sampai, aku langsung meminum air yang dia sodorkan. Tiga jam lebih yang sangat menguras tenaga, sampai membuatku kehausan.
"Ayo naik."
Aku hampir tersedak mendengar dua lelaki yang aku tengahi. Mereka masih berada di tunggangannya masing-masing, bersiap untuk melaju.
"Maaf ya, kakak kelas terhormat. Aqeela ke sini bareng aku, pulang juga harus bareng aku," ujar Suheil mengawali percakapan mereka.
Kali ini aku mengalihkan pandangan ke arah Kak Rassya, menunggu balasannya. "Aku mau ngambil keripik di rumahnya."
Suheil tertawa kecil, aku menatapnya kembali. "Kak, biar lebih cepat, bukannya pakai motor? Jadi, Aqeela pulang bareng aku. Silakan Kak Rassya duluan."
"Lagian buat apa cepat-cepat, bukannya lebih baik mengendarai pelan-pelan yang penting selamat sampai tujuan. Aqeela bareng aku aja." Lagi menatap Kak Rassya.
Mereka terus berlanjut melempar perkataan dan hampir membuat leherku patah, menatap ke sana ke mari.
"Aku pulang jalan kaki."
Empat kata yang keluar dari mulutku berhasil membuat mereka berhenti bicara.
"Jangan!" Kali ini mereka berbicara dengan kompak.
"Naik ini, biar aku yang jalan kaki." Dan lagi berbicara kompak.
Aku menatap Suheil. "Heil, aku belum lancar pakai motor. Jadi kamu aja yang naik motor." Beralih menatap Kak Rassya, sempat melihatnya menjulurkan lidah ke arah Suheil. "Kak, aku pinjam sepedanya. Kak Rassya boleh naik di belakang Suheil."
Dengan cepat aku mengambil alih sepeda milik Kak Rassya. Mengayuh pedal perlahan meninggalkan kedua lelaki yang membulatkan mulut.
***
Syaqeel banyak asupan ya akhir-akhir ini, ikut seneng deh🙃
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR || Aqeela
ChickLit[FOLLOW SEBELUM BACA] Takdir yang selalu bahagia tanpa ada musibah adalah kemustahilan. Aqeela Calista menggantungkan banyak harapan di masa depan. Satu persatu kenyataan menamparnya, berkali-kali. Membuat dia tersadar hidup tidak selalu tentang bah...