"Hati-hati ya di jalan, jangan ngebut, harus pakai helm. Pegangan yang kuat sama Suheil, kalo acaranya lama, kamu makan dulu saja," tutur Ayah berulang kali. Beliau mengusap kepalaku lembut.
"Iya Ayah," balasku menurunkan tangannya dari kepala. Bibirku tersenyum padanya, sedikit membuat hatinya tenang, bahwa semua akan baik-baik saja.
Tingkah Ayah tadi pagi sampai sekarang sangat aneh. Saat bangun tidur, dia sudah ada di kamarku, membangunkan ku untuk segera bersiap. Sarapan pagi juga Ayah yang menyiapkan, beliau membuatkan bihun rebus kesukaan ku dengan resep rahasianya. Tidak hanya itu, Ayah melarang ku untuk menyentuh pekerjaan rumah di pagi ini. Serta selalu menempel di sampingku, bahkan sampai aku duduk di teras.
"Om Sahrul tenang saja, aku pasti jagain Aqeela. Enggak akan biarin Aqeela lecet deh," sahut Suheil semangat.
Ini adalah hari yang Suheil tunggu-tunggu, lomba final bernyanyi yang ia ikuti akan berlangsung beberapa jam ke depan. Tempat lomba memang sedikit jauh, membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk sampai di sana. Maka dari itu, kami berangkat lebih awal.
Kami sedang menunggu kedatangan Jefan dan Saskia. Kami sudah menunggunya lebih dari 20 menit, namun belum kunjung datang juga. Jika lebih lama lagi, aku takut semuanya jadi terlambat sampai ke tempat lomba.
Suheil sesekali menggeram kecil, tangannya tak bisa diam, meremas jaket biru gelapnya. Aku yakini, dalam batinnya menyuarakan umpatan untuk kedua anak itu. Belum lagi dirinya yang akan tampil di atas panggung. Pasti membuat Suheil sedikit gugup.
"Alhamdulillah ...."
Suheil berdiri ketika dua orang yang ditunggu akhirnya datang. Wajah Saskia ditekuk, pasti ada masalah sebelumnya. Ya tahulah, adu mulut antara Jefan dan Saskia berlangsung lama dan berakibat hampir telat.
"Maaf ya telat, dia nih bikin kesel. Ma—"
"Udah udah, ayo berangkat," ucap Suheil, tidak mau mendengar alasan Saskia. Dia mengambil helm dan memberikannya kepadaku. Aku menerimanya dengan cepat.
Beralih menatap Ayah, mengambil tangan kanannya, mendaratkan kecupan kecil dari bibirku. "Kita berangkat ya, Yah. Doain semoga Suheil menang," cicitku memeluknya singkat.
"Iyah ... inget yang tadi. Hati-hati di jalan, jangan ngebut, harus pakai helm. Pegangan yang kuat sama Suheil. Kalo acaranya—"
"Lama, Aqeela makan dulu saja." Aku sampai hafal kalimat yang dilontarkan Ayah. "Ayah tenang saja, Aqeela akan baik-baik saja kok di sana," sambungku tersenyum lebar.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku menghampiri Suheil yang sudah siap menyalakan motor. Duduk di jok belakang, sembari memakai helm. Memeluk pinggang Suheil dari belakang, kemudian menoleh ke arah Ayah. Melambaikan tangan, sudut bibir Ayah terus terangkat, membuatku ikut tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR || Aqeela
ChickLit[FOLLOW SEBELUM BACA] Takdir yang selalu bahagia tanpa ada musibah adalah kemustahilan. Aqeela Calista menggantungkan banyak harapan di masa depan. Satu persatu kenyataan menamparnya, berkali-kali. Membuat dia tersadar hidup tidak selalu tentang bah...