BAGIAN 39 "Kepikiran"

473 89 6
                                    

Kevan POV

Apa yang terjadi sama otak gue? Kenapa bayangan Rara terus muncul dalam otak gue? Apalagi kejadian semalam saat di rumah opa.

Flashback

"Bang Kev, ayo kita pulang!" ajaknya sambil menggoyang bahu gue.

Merasa sedikit terganggu gue mengeliat malas. Di kasur ini cuma ada gue seorang, karena Lily si bayi gempal sudah di gondol sama pawangnya, padahal itu bayi udah lelap banget di sini, alasannya karena ga tenang biarin anaknya diasuh sama gue. Ckck kaga tau aja dia, dulu gue pernah ngerawat anak biawak dari telur sampe jadi biawak dewasa.

"Besok aja sih, Ra. Ribet amat lu, ini tu kamar gue kalo di sini, jadi santai aja ga usah canggung gitu," jawab gue separuh sadar.

"Bukannya canggung, tapi ga enak tidur pake baju ini. Rara mau pulang ambil baju dulu."

Seketika mata gue terbuka mendengar gagasan yang sangat jenius itu "Terus balik lagi ke sini, gitu?"

Dan dengan polosnya dia mengangguk seraya tersenyum. Memang kampret ini bocah, oon nya ga bisa dikondisikan.

"Pinter banget otak lu, Jamilah! Udah ga usah banyak cincong, baju gue ada di lemari itu, pake aja buat sementara, gue ngantuk banget ga bisa nyetir, ntar nabrak lagi. Kalo elu yang kenapa-kenapa mah ga masalah, tapi kalo mobil gue penyok yang jadi masalah."

Gue mendengar dia berdecak kesal, namun setelah itu terkekeh seraya mencubit bahu gue yang ditutupi kemeja hitam. "Hihi, jahat banget mulut kamu, Antonio!"

"Dih ganjen banget lu, Esmeralda! Bahu gue jadi ga perawan lagi nih!"

"Biarin! Wlee!" Setelah itu dia ngacir lari ke kamar mandi.

Flashback End.

Senyumannya waktu itu, bikin jantung gue berdebar sampe sekarang, tiap kali gue nutup mata, bayangan dia nyengir kaya kuda langsung muncul. Apa mungkin gue terkena jampi-jampi? Berarti dia melet gue dong? Ah tapi ga mungkin, gue jelasin tentang ekonomi bisnis aja dia planga plongo, apalagi ke dukun, yang ada dia salah santet, bukannya sampe ke gue malah nyasar ke ayam tetangga.

Gue dikagetkan dengan bunyi nyaring klakson di belakang, ternyata traffic light-nya udah hijau, kebanyakan bengong nih gue mikirin Rara bogel, gue jadi ga fokus sama jalanan. Sesampainya di rumah, gue menenteng kantong plastik berisi beberapa tusuk sate madura.

"Tumben belajar lu!" tegur gue saat melihat si bogel lagi asik merhatiin bukunya. Tapi kalo gue perhatikan dengan seksama, itu manusia satu kayanya ga lagi belajar deh, masa iya dia baca rambut terurai kaya kuntilanak gitu.

Gue mendekat dan menyentuh bahunya dengan telunjuk dan alangkah terkejutnya gue saat melihat pemandangan mengerikan, itu bocah tidur dengan ingus yang menyebar di bukunya. Saat gue merapikan rambutnya, wajah bogel lembab dan ternyata bulatan basah yang gue liat barusan bukan ingus, tapi air mata, ini anak pasti habis mewek. Kenapa? Karena nilainya rendah lagi? Atau dia ada masalah lain?

Seketika gue merasa bersalah karena selama ini gue ga pernah peduli dia ada masalah apa? Apalagi yang gue tau dia punya hubungan yang kurang baik sama emaknya dan gue ga pernah cari tau sedikitpun.

"Apa yang udah lu perbuatan ke gue, sampai otak gue ga bisa berhenti mikirin lu?" gumam gue seraya membelai wajah manis itu. Ya, gue akui ini anak emang manis, wajar banget Sanur naksir berat sama dia.

Gue mengecup lembut kedua matanya, hingga membuat dia mengeliat dan terjaga "Bang Kevan kapan pulang?"

"Barusan."

"Ooh, maaf Rara ketiduran. Bang Kevan udah makan?" tanyanya dengan mata sayu.

"Belum, tapi gue bawa sate Madura, lu mau makan bareng gue?"

Seketika mata yang tadi sayu sekarang langsung ngejreng "Mau banget. Ayo kita makan!"

Kelakuan dia bikin gue ga tahan buat ga ketawa "Padahal gue cuma basa-basi doang tadi, eh elu malah mau, kan jatah gue jadi dikit."

"Haha, ya gimana dong, rezeki itu ga boleh di lewatkan."

"Sa ae lu ra. Ya udah sana siapin di meja makan."

"Siap boss!"

***
Di meja makan, gue melihat dia makan dengan lahap, kaya anak kucing kelaparan ga makan tiga hari. Tapi entah kenapa gue seneng dia semangat kaya gini, walaupun mukanya sembab.

"Kenapa nangis?"

"Hah?" tanyanya bingung dengan mulut menggembung penuh makanan.

"Lu kenapa nangis tadi? sampe ketiduran gitu," ulang gue.

Rara tersenyum tipis lalu menggeleng pelan "Ga papa, tadi Rara habis nonton drakor, sedih banget."

Gue tau dia bohong, kelihatan dari gelagatnya "Kenapa? Ada masalah?" ini pertama kalinya gue menanyakan ini ke dia.

Rara dia meletakkan sendoknya, masih tetap tersenyum dia berdiri dari duduknya dengan alasan kebelet ke toilet. Tapi sebelum itu gue langsung menarik tangannya untuk duduk kembali.

"Kenapa?" tanya gue lagi, seraya mengelus pipinya.

Rara menggeleng pelan, namun air matanya mengalir begitu saja, spontan gue langsung menariknya ke dalam pelukan, Rara menangis terisak.

"Ada gue, cerita lu kenapa?"

"T-tadi Rara ke rumah Papa, katanya papa sakit, sa-sampe sana Rara di usir. Bang Kev, papa Rara baik-baik aja kan?" katanya terus terisak.

"Mama lu yang usir?" tanya gue dengan nada geram yang kentara. Rara menjawab dengan anggukan. Bener-bener durjana banget itu emaknya Rara.

"Rara mau kasi tau bang Kevan sesuatu, tapi janji ini rahasia kita ya?"

Gue mengangguk "Apa emang?"

Rara menunduk "Sebenarnya Rara ini anak haram, ibu kandung Rara itu orang jahat, dia merebut kebahagiaan keluarga mama. Tapi walaupun begitu, papa tetap ayah kandung Rara, Rara pengen tahu papa kenapa."

Gue mengangkup wajahnya agar bisa menatap mata gue "Ra, semua anak terlahir suci, termasuk Rara, walaupun cara tercipta Rara salah, tapi Rara tetap terlahir bersih tanpa dosa. Jadi jangan berpikir kaya gitu lagi ya? Bang Kevan ga suka Rara ngomong kaya gitu."

Mendengar ucapan gue, tangis Rara semakin deras, gue membawanya kembali ke pelukan gue, mengusap rambut halusnya.

"Maaf ya, selama ini Rara sering gangguin bang Kevan."

"Ga papa. Sekarang yang terpenting Rara ga sedih lagi, besok kita ke rumah Rara, biar bang Kevan yang berjuang supaya Rara bisa ketemu papa."

Rara mengeratkan pelukannya "Rara tau hati bang Kevan baik. Makasih ya."

Gue mengurai pelukan kami "Masih selera makan ga? Kalo kaga beresin lagi ini meja."

Dalam sekejap ekspresi sedihnya berubah jadi ngeselin lagi "Hihi, masih selera dong, sayang kalo ga dihabisin," katanya cengengesan.

"Nyengir mulu lu, kuda bendi!"

***

Tbc

Ga jelas banget gue nulis apaan. Tapi tetap vote, comen yang buanyak dan follow aku gue ya.

Terima kasih. See you next chapter 🥴

Babunya Mr PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang