CHAPTER 34 "Mie dan Cokelat"

757 119 27
                                    

Entah apa yang terjadi, rasanya gue seneng banget karena udah bikin Rara senyum hari ini. Ketawa girangnya sambil meluk sepeda baru tergambar jelas di otak gue. Gue jadi berpikir, oh begini rasanya punya adik. For you information, dulu gue pengen banget punya adik. Gue dan Samuel sering banget main sama anak kecil dengan harapan ibu kami masing-masing bisa hamil dan punya anak. Tapi cuma harapan Samuel yang terkabul, dia punya adik diusia tua. Sedangkan gue, gue cuma bisa gigit sosis, karena orang kaya ga mungkin gigit jari.

Tapi sekarang gue ngerasain gimana rasanya ngejailin adik, ngejajanin dia, ngomelin dia, pokoknya banyak deh. Kalo dulu gue yang digituin sama bang Darwin. Ya, Rara udah bikin gue ngerasain itu sekarang.

Saat ini gue dalam perjalan pulang dari kantor, sedikit lebih malam dari biasanya, soalnya banyak banget kerjaan gue. Tidak seperti yang dikisahkan dalam cerita romansa, dimana anak pemilik perusahaan bisa jadi pemimpin. Bapak kita beda aliran cuy, gue masuk kantor gini kudu ikut persyaratan juga dan jabatan masih biasa-biasa aja, ga ada istimewanya gue sebagai anak pemilik perusahaan. Sad banget.

Namun, tatapan gue yang semula fokus ke jalan, teralihkan saat melihat seseorang yang baru saja menaiki taksi. "Lah itu kan Kezia kembaran tak serahimnya Rara bogel. Ikutin aja kali ya, biar gue tau rumahnya."

Dan ya, akhirnya gue mengikuti dia sampai ke rumahnya. Ternyata dia tinggal tidak jauh dari komplek bokapnya Rara. Apa jangan-jangan mereka beneran kembar, tapi si Rara ini didonasikan ke bapaknya yang sekarang, karena udah ketebak gedenya jadi manusia setengah kuyang. Kudu dipastikan ini mah.

Setelah si Kezia itu masuk ke rumahnya, gue menancap gas melanjutkan perjalanan pulang, besok gue harus temui ini orang. Tapi, di pinggir jalan, gue kepikiran pengen makan ramen. "Enak kali ya malam-malam gini makan yang berkuah."

Gue menepikan mobil ke sebuah swalayan 24 jam. Membeli mie instan dan beberapa camilan buat si bogel, siapa tau aja itu anak kelaparan di tengah malam.

Setelah itu gue beneran pulang dan ga mampir kemanapun lagi.

Sesampainya di rumah, keadaan udah gelap gulita, kaya rumah yang listriknya dicabut karena belum bayar toket, eh token maksudnya. Astagfirullah mulut gue suka kepleset menyebutkan hal yang tidak baik.

"Baah!" teriak sebuah suara saat gue membuka pintu kamar.

Gue menatap datar sesosok makhluk halus yang pendek dan hobi pake baju lengan panjang kedodoran. "Minggir, Ra! Napas lu bau kentut naga."

"Yah, ga kaget," ucapnya lesu sambil mengikuti gue berjalan masuk.

"Lu udah makan, Ra?" tanya gue seraya melepaskan pakaian.

"Umm, malam ini belum sih, tapi tadi sore Rara udah makan udang tepung bareng Mami, enak banget loh," jawab dengan ekspresi senang berlebihan. Dia pikir gue bakalan ngiler kali ya pas dia bilang makan udang tepung. Udah bosan gue mah.

Gue mengangguk "Oh, kalo gitu lu masakin gue ramen dong. Lagi pengen banget gue."

"Yang ini ya? Waah keliatannya enak, Rara boleh minta juga ga?" Serunya seraya men-unboxing kantong belanjaan yang tadi gue bawa.

"Boleh, tapi dihitung hutang, mau lu?"

"Yaah, ga mau. Ya udah kalo ga boleh, Rara masakin dulu buat Bang Kev."

"Oke, habis gue mandi dah harus selesai ya, kalo kaga lu gue hukum nyanyi nina bobo di kandang anjing Pak Rt," ancam gue menunjuk hidungnya.

Rara langsung pasang mode hormat dan berseru "Siap pak boss!"

Dia keluar dari kamar dengan langkah tegak maju ala anak paskibra. Ada-ada kelakuan bocil.

***

"Enak banget ya, Bang?" tanya Rara sambil terus menatap kemana pun arah sendok gue, lengkap dengan tampang mupeng-nya.

"Hum, enak banget Ra, rasanya seperti lu menjadi kuyang," jawab gue lebay.

"Kalo gitu, besok Rara minta bang Sanur beliin deh. Pasti dia mau," gumamnya, memakan cokelat.

Seketika gue tersedak kuah mie. Astagfirullah kenapa tubuh gue bereaksi kaya gini sih?

Spontan, Rara langsung menyerahkan air. "Minum dulu! Makanya jangan suka jahat sama Rara, dapat karma kan," ucapnya menepuk pelan punggung gue.

"Huk! Apaan sih lu minta beliin sama orang, ga malu apa? Dari pada lu minta ke dia, nih cobaain aja punya gue dulu." Gue menyodorkan garpu yang terlilit mie ke depan mulut Rara.

"Hihi, asik." Rara menerima suapan gue dengan hati ceria.

"Enak ga?"

"Um, enak sih, tapi rada asin gitu kan?"

"Iye, bikinan lu ini. Katanya, kalo ada orang yang masakannya asin, berarti dia mau kawin, jangan-jangan lu mau kawin lagi ya Ra?"

"Hah? Kawin sama siapa? Enggak kok. Mungkin itu karena bumbunya dapet ganda, jadi Rara masukin aja semuanya," ucap itu anak sambil kembali memakan cokelat.

Gue mengangguk paham, lalu kembali menikmati santapan asin karya Rara bogel.

"Ra, lu tau kenapa gue ga mau kasi lu mie ini?"

"Kerena Bang Kevan pelit kan? Udah tau Rara mah."

"Bukan."

"Terus?"

"Karena lu lagi makan cokelat, kata orang mie ga boleh di makan berbarengan sama cokelat."

"Kata siapa? Bukan itu hoax ya? Pasti bang Kevan dapat itu dari broadcast pesan whatsApp-nya bapak-bapak kan? Hahaha."

"Beneran Ra, lu bisa mati karena makan dua hal itu secara bersamaan. Gue ga mau ikut campur sih Ra, soalnya lu udah makan keduanya tadi, mungkin aja bentar lagi lu, meninggal!" ucap gue menakuti. Gue yakin, pasti ini anak bakalan kalang kabut mikirin bentar lagi bakalan meninggal.

"Huh, ga percaya soalnya ga ada jurnal terpercaya soal itu. Jadi Rara mah b aja," balasnya mengangkat dagu dan tetap mengunyah cokelat. Songong banget bocah bau amis.

Gue kesal karena rencana gue buat jailin dia ga berhasil, ditambah lagi mukanya yang ngeselin kaya pantat monyet, bikin dada gue makin engap. Tiba-tiba, sebuah rencana epic melintas di otak cerdas gue.

Gue meletakkan mangkuk mie itu ke meja, menarik kursi yang diduduki Rara, lalu dengan cepat mengecup bibirnya. Seketika mata dia terbelalak dan kunyahannya terhenti. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, gue melumat bibirnya, serta mengeksploitasi rongga mulutnya, sampai lidah gue bisa merasakan cokelat yang udah lumer di dalam mulut itu.

Beberapa saat kemudian gue melepaskan ciuman kami dan menempelkan kening masing-masing. Gue menatap mata cokelat yang kelihatan kebingungan karena kejadian tiba-tiba tadi.

"Kalo beneran berita itu hoax, berarti gue masih bisa menikmati bibir ini besok dan seterusnya." Lalu kembali mengecup bibir itu.

Disela-sela aktivitas itu, satu sisi diri gue berbicara dan mencemooh diri gue yang munafik ini. Dia berkata "Kakak mana yang mencium adiknya sendiri, di bibir?"

Shit! Gue sadar akan hal itu, tapi apa yang dia miliki terlalu menggoda untuk tidak gue coba.

***

Tbc

Begimana kabarnya gaes? Sehat? Atau sedang menahan sakitnya di-ghosting gebetan?

Sorry, update-nya rada lama dan ga nentu. Gue nulis disela-sela waktu luang. Jadi maklumin ye.

Gimana chapter ini? Beri tanggapan klen di komentar, ramein gitu biar gue seneng. 😂

Ya udah, segini dulu. Jangan lupa vote, komen dan fhallaw akun gue yaw. See you next chapter 😘

Babunya Mr PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang