Bagian 3

82 6 0
                                    

Halloo...

Sori ya yang udah nungguin lanjutan ceritaku..
Terima kasih yang udah follow, subscribe, dan like..😍😍
Pembaca juga boleh lho kasih ide..😁

Ya udah, silahkan dinikmati part yang enggak begitu panjang ini.

==============================

Hari ini, aku berencana menghabiskan  waktuku untuk membersamai Nabhan. Setelah pamit untuk mandi dan berganti pakaian di hotel, aku kembali ke pesantren. Rasanya bahagia bisa menebus hari-hari yang telah dilewati Nabhan tanpa diriku meskipun hanya dalam beberapa hari kedepan, yang itu pasti jauh dari hitungan jumlah hari yang telah ia lewati hanya dengan Papahnya. Setidaknya aku ingin dia tahu, betapa aku sangat mencintai dan menyayanginya.

Selama beberapa hari kedepan aku hanya ingin fokus padanya. Melupakan dulu masalahku dengan Mas Bagas.

Aku tersenyum getir mengingat nama Mas Bagas. Laki-laki yang mati-matian kuperjuangkan selama hampir satu tahun supaya tetap bersamaku. Meskipun sebenarnya aku sudah cukup lelah menghadapi sifatnya yang sangat susah ditebak, moody, dan sangat posesif. Besarnya harapanku untuk segera memiliki imam supaya hatiku menjadi lebih tenang itulah yang menyebabkan aku bertahan sampai hampir satu tahun. Akhirnya bernasib sama dengan hubunganku dengan beberapa lelaki lain sebelum dirinya, diputuskan. Tapi ini adalah tragedi putus yang paling tragis, diputuskan hanya melalui gelombang elektromagnetik yang invisible.

Beberapa waktu setelah bercerai, aku mencoba move on dengan mulai membuka diri dengan laki-laki tentunya yang free. Bahkan aku yang dulunya introvert sedikit demi sedikit mulai menjadi extrovert.

Banyak orang yang bilang jika aku cantik, cerdas dan enak diajak bicara, meskipun aku sendiri tidak yakin dengan semua itu. Mungkin karena itulah banyak laki-laki yang berusaha mendekatiku meskipun aku berstatus janda. Tapi entah sudah berapa kali aku berusaha berkomitmen dengan laki-laki setelah bercerai, semuanya berakhir dengan kata putus.

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Berusaha mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai menggelitik otakku. Apakah menjauhnya semua laki-laki yang menjalin hubungan denganku ada hubungannya dengan Gus Sami yang sampai saat ini belum menikah lagi?

Tiba-tiba aku dikejutkan suara berat Gus Sami yang sudah berada di belakangku. Aku bahkan tidak menyadari kapan dia masuk ke kamar Nabhan.

"Aku tadi beli gudeg di lingkar Utara, makanlah," katanya. Dia mulai menata makanan khas kotanya itu di meja kecil yang berada di pojok kamar.

"Kamu pasti tadi tidak sempat sarapan." Dia benar, aku memang tidak sempat sarapan. Setelah sampai hotel tadi aku segera mandi karena badanku sudah terasa sangat lengket, dan setelah mandi tergesa kembali ke pesantren karena takut Nabhan sudah teebangun sementara aku tidak ada di sampingnya.

"Masih suka gudeg 'kan?" tanyanya. Dia kali ini menatapku lebih lembut. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Rasanya ada banyak kupu-kupu berterbangan di sekitarku melihat bagaimana dia memberikan perhatian padaku. Aku tersenyum sendiri, seakan mencibir diriku sendiri. Bisa-bisanya aku Ge Er hanya karena dia membelikanku Gudeg kesukaanku di tempat yang dulu menjadi langganan kami. Wajar saja dia memberiku sarapan, karena saat ini aku adalah tamunya.

Aku menggeleng sambil mengulum senyum karena merasa begitu naif.

"Ada apa?" Lagi-lagi aku dikejutkan olehnya. Wajahnya serius memandangku.

"Enggak apa-apa. Senang saja melihat Nabhan tidur pulas, padahal semalam kesakitan," jawabku berbohong.

***


Usai shalat Ashar, Nabhan kusibin dengan air hangat supaya tubuhnya lebih segar. Sementara Gus Sami mempersiapkan baju ganti untuk Nabhan. 

"Rupanya masih ada Mamahnya Gus Nabhan. Tumben masih betah di sini." Tiba-tiba sebuah suara memaksaku memalingkan muka ke arah pemilik suara itu. Begitu juga dengan Gus Sami.

"Ning Balqis?" Sapaku dengan nada tanya. Ia menatapku sinis.

"Kamu ngapain, Gus?" kalimat Ning Balqis kini di arahkan pada Gus Sami.

Gus Sami hanya mengedikkan dagunya ke arah tumpukan baju ganti untuk Nabhan.

"Sekali-kali biar Mamahnya yang merawat Gus Nabhan. Selama ini dia udah enak-enakan, enggak mau tahu soal anaknya. Mencari kebahagiaannya sendiri tanpa peduli anaknya bahagia apa enggak, mantan suaminya repot apa enggak."

Rasanya ingin sekali kulemparkan waslap basah ini ke mukanya. Tahu apa dia dengan hidupku, seenaknya saja menghakimi. Statusnya memang Ning, tapi mulutnya tajam dan sikapnya seperti barbar. Aku merasa dia menumpahkan kekesalan hatinya karena selama tujuh tahun usahanya menaklukkan hati Gus Sami masih belum berhasil.

Berkali-kali kutarik nafas dalam untuk menenangkan perasaanku. Sementara Nabhan hanya memandangku dan memandang Papahnya bergantian. Aku berusaha menyunggingkan senyum dan mengedipkan mata padanya sebagai isyarat bahwa aku baik-baik saja dan abaikan ucapan Ning Balqis. Nabhan menahan senyumnya.

Aku yang bergeming dengan ocehannya semakin membuatnya marah.

"Sepertinya dia mau balikan, Gus. Tumben banget dia betah di sini," 

Apa katanya, balikan? Bikin auto ngakak aja.

Aku menahan senyuman, begitu juga dengan Nabhan. Aku mulai memakaikan bajunya, lalu membaringkannya kembali. Menata letak kakinya supaya lebih nyaman.

"Dia pasti susah cari suami baru, apalagi statusnya sudah janda. Makanya mau balikan sama mantan ...."

"Sudah, Ning. Cukup!" bentak Gus Sami.

Ning Balqis benar, aku memang susah cari suami baru. Entah sudah berapa kali aku menjalin hubungan dengan laki-laki setelah perceraianku dengan Gus Sami, yang semuanya berakhir dengan perpisahan di saat kami sudah bersepakat untuk menikah. Aku tak tahu kenapa bisa seperti itu.

"Aku enggak mau mendengar kamu menjelek-jelekkan ibu dari anakku. Apalagi di depan anakku." Gus Sami melanjutkan kalimatnya.

"Sampai kapanpun, Richa adalah Mamahnya Nabhan. Tak ada yang akan menggantikannya." Kalimat Gus Sami seperti skak mat untuk Ning Balqis. Dia lalu keluar kamar dengan kaki menghentak-hentak dan menggumam tidak jelas.

Aku tersenyum bahagia karena Gus Sami masih membelaku meskipun ia sering bersikap dingin. Tetapi senyumanku tak berlangsung lama, saat kutemukan wajah datar Gus Sami. Aku merutuki diri sendiri.

***

GUS MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang