Bagian 9

103 9 2
                                    

"Cukup, Na. Cukup!" Sakta menghentikan tanganku yang hendak kembali menyendok sambal.

"Aku sebal banget. Bisa-bisanya dia datang ke kantor hanya buat ngata-ngatain aku. Nggak ada sopan-sopannya." Aku menghempaskan punggungku ke sandaran sofa dengan kasar. Beruntung sofa yang kududuki lumayan empuk. Napasku tersengal menahan marah, rasanya sudah sampai ubun-ubun. "Kepalamu udah panas, Sup-nya juga panas ditambah sambal pedas, asam lambungmu bisa langsung naik."

Sakta memandangku teduh, "Sabar, Na. Sabar. Mungkin saja dia melakukan semua itu karena sangat mencintai suaminya. Dia takut kehilangan suaminya. Bukankah kemarin kamu cerita kalau perkawinan mereka masih belum dikaruniai keturunan meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun menikah?" Ucapan Sakta sedikit menurunkan tensi kemarahanku. Aku meneguk es jerukku sampai hampir setengah gelas. Berharap dinginnya air jeruk membuat ubun-ubunku ikut dingin.

"Harusnya dia tidak bersikap seperti itu. Sebagai istri harusnya dia menjaga martabat suaminya. Klarifikasi dulu baik-baik, tidak main hantam begitu."

"Dia 'kan cuma merespon dari visualisasi gambar kalian berdua. Dan menurutku wajar ia melakukan itu. Coba lihat lebih teliti, foto kalian berdua itu seperti orang yang sedang berduaan dengan tatapan mata yang saling mendamba. Aku sendiri ...."

"Sakta!" Mataku membulat tidak percaya. Aku tidak habis pikir, kenapa Sakta juga memberikan penilaian seperti itu.

"Aku bicara obyektif, Na."

"Foto itu diambil saat kami sedang outbond. Jadi kami duduk bersama orang banyak, tidak hanya berdua. Sialnya, ada satu foto yang di frame itu hanya kami berdua. padahal di sebelahku ataupun di sebelah Mas Riko juga banyak peserta lain. Kami duduk bersebelahan karena kami berasal dari satker yang sama. Hanya itu." Aku merengut, menggoyangkan kepalaku. Masih tidak percaya dengan pikiran Sakta yang justru membela perempuan itu.

"Aku percaya, Na. Tadi aku hanya memberikan penilaian atas apa yang ditampilkan oleh foto kalian. Tapi aku percaya sama kamu. Visualisasi gambar itu bukan seperti apa yang sebenarnya terjadi. Itulah yang sering membuat orang salah informasi. Bahkan beberapa gelintir buzzer memanfaatkan foto-foto seperti itu untuk membuat berita Hoax." Aku kembali menghembuskan napas kasar.

"Udah, makan dulu. Sop Iga Kerbau kesayanganmu nanti keburu dingin, lho," katanya lagi sambil mengangsurkan kerupuk rambak padaku.

Aku menikmati Sop Iga Kerbau yang biasanya lezat di lidahku kini terasa hambar, hanya rasa asin dan manis saja. "Kenapa?" tanya Sakta saat melihatku hanya mengaduk-aduk mangkukku. "Rasanya aneh, nggak seperti biasanya."

Sakta kembali tersenyum, "Itu karena pikiranmu tertekan jadi produksi asam lambungmu mulai banyak sehingga otakmu memberi respon tidak baik. Sup-nya enak, lezat. Citarasanya seperti biasanya."

Sedikit demi sedikit aku menyuapkan nasi sup ke mulutku. Bayangan istri Mas Riko yang marah-marah kembali melintas. Kuhentikan sendokanku, "Dalam sebuah pernikahan harusnya saling percaya pada pasangannya. Kalau ada masalah dikomunikasikan, saling mendengarkan." Aku menjeda kalimatku.

"Kupikir masalahnya udah selesai karena sehari sepulang dari Jogja, Mas Riko minta maaf lagi padaku. Dia juga cerita kalau sudah menjelaskan semuanya pada istrinya. Dia bilang semua sudah clear. Tapi kenyataannya apa? Pagi-pagi buta istrinya datang melabrak." Aku masih tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh istri Mas Riko. Berkali-kali aku menggelengkan kepala sambil menyesap es jerukku melalui sedotan.

GUS MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang