Bagian 2

99 10 2
                                    

Rasa sakit yang kurasakan kali ini melebihi apa yang kurasakan tujuh tahun lalu. Saat itu, hatiku sakit karena harus berpisah dengan Nabhan yang baru berusia empat tahun, tetapi di sudut lain hatiku ada dendam membara yang menyulut semangat hidupku. Tekadku saat itu hanya satu, aku harus menjadi kaya supaya tidak lagi dihina dan bisa membawa Nabhan kembali dalam pelukanku. Namun kenyataan tak sejalan dengan anganku.

Hari ini, aku merasa benar-benar kalah. Kekayaan yang kumiliki saat ini tetap tidak bisa membawa anakku kembali, bahkan sekedar untuk kukhitankan. Aku bisa saja memaksakan kehendak, tetapi hal itu akan lebih dalam menyakiti Nabhan.

Dadaku semakin terasa sakit. Mataku terasa menyipit dan perih. Aku lelah secara Lahir maupun batin. Tanpa kusadari, aku jatuh tertidur.

***

Aku masih menyelesaikan makalahku untuk acara sosialisasi yang diadakan oleh relawan demokrasi basis komunitas besok pagi di Lapas. Ponselku berdering. Kulihat nama Gus Sami di layar ponselku.

"Assalamualaikum," sapaku.

"Wa'alaikumussalam, Mah. Ini aku, Nabhan." Suara Nabhan terdengar sedang bahagia.

"Hai, Sayang. Coba Mamah tebak, Nabhan sepertinya lagi bahagia."

"Mamah kok tahu," jawabnya riang. Aku tersenyum sendiri membayangkan pipi tembem dan mata sipitnya.

"Mah, aku jadinya dikhitan Minggu ini. Mamah bisa datang 'kan?" Tiba-tiba senyuman di wajahku menghilang berganti kegundahan. Cukup lama aku terdiam sampai suara Nabhan menyadarkanku.

"Mamah sibuk ya? Mamah enggak bisa datang?" Suaranya kini menjadi terdengar memelas.

"Mamah pasti datang," jawabku sekenanya.

"Hore," Nabhan bersorak kegirangan.

"Mamah temani Nabhan sampai sembuh, ya?" rajuknya. Aku tak menjawab dan mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Mamah bisa bicara sama Papah sebentar?"

"Ya, Mah. Papah dari tadi di sini. Nabhan pergi main dulu ya, Mah."

Sedetik kemudian suara serak Gus Sami sudah terdengar dari ponselku.

"Kok mendadak, Gus. Bukankah ...."

"Aku masih bisa memenuhi kebutuhan Nabhan," ucapnya ketus. Lagi-lagi dia memutus kalimatku.

"Ya, Gus. Aku tahu. Tidak perlu selalu kamu pertegas. Aku tahu diri, siapa diriku. Makanya waktu itu aku lebih memilih berpisah, karena aku tahu kita tidak sepadan." Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Tanpa salam kuputuskan sambungan ponselku.

Aku sesenggukan sampai badanku terguncang. Air mataku tak mampu kubendung. Beruntung aku berada di satu ruangan tersendiri sehingga tidak ada orang yang melihatku menangis.

***

Sebelum jam pulang kantor, aku menuju ruangan Mbak Reza. Setelah mengetuk pintu dan ia mempersilahkanku masuk, aku masuk ke ruangan yang besarnya sama dengan ruanganku. Mbak Reza adalah pimpinanku di kantor. Sore ini aku berniat menceritakan kegundahanku. Meskipun atasanku, dia lebih bersikap layaknya seorang teman.

"Ya sudah, kamu ambil cuti saja. Temani Nabhan sampai sembuh. Ini kesempatan baik buatmu untuk bisa bersamanya," katanya setelah kusampaikan rencana khitan Nabhan.

"Aku izin paling dua hari saja," kataku.

"Kenapa enggak sekali-kali manfaatkan kesempatan untuk merebut hati anakmu. Itu akan menguntungkanmu jika nanti KPAI memintanya memilih antara ikut kamu atau Papahnya. Kalau Nabhan merasa nyaman bersamamu, dia bisa memilih hidup bersamamu."

GUS MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang