Bagian 5

82 8 5
                                    

Jantungku berdegup lebih kencang ketika mataku menangkap sebuah tulisan nama dokter praktek spesialis anak, dokter Khoirun Nisa Tijani.

Dokter Khoirun Nisa Tijani adalah perempuan yang telah membuat Gus Sami patah hati waktu itu. Dokter Nisa meninggalkannya dan memilih laki-laki lain karena ia merasa tidak akan mampu hidup di lingkungan pesantren dengan tuntutan dan tanggung jawab besar.
Seperti itulah cerita Gus Sami padaku waktu itu.

Saat patah hati itu, kami dipertemukan oleh Eyin, salah seorang sepupunya yang kebetulan teman baikku di kampus. Seminggu setelah perkenalan kami, Gus Sami melamarku. Tanpa berpikir panjang, tanpa berusaha mengenal keluarganya terlebih dahulu, tanpa memastikan apakah orang tuanya bisa menerimaku, aku putuskan untuk menerima lamarannya itu. Saat itu aku hanya berpikir untuk mengurangi beban Pakde-ku.

Aku piatu sejak bayi. Ibu meninggal saat melahirkanku dan itulah alasan yang membuat kakak-kakakku membenciku. Sering kali mereka bilang akulah pembunuh ibu. Ayahku meninggal saat aku bersiap memasuki bangku Taman Kanak-kanak. Dan setelah itu aku diasuh Pakde, sedangkan kakakku yang berjumlah empat orang menyebar. Ada yang diasuh Paklek, Bude, dan Pakde lain dari jalur Ayah karena Ibuku adalah anak tunggal.

Kini Gus Sami sudah membuka pintu mobil dan berdiri menjulang di sebelah kiriku sebelum hilang keterkejutanku. Kedua tangannya terbuka lebar bersiap menggendong Nabhan.

"Aku sudah hubungi dokter Nisa supaya kita tidak perlu antri lama sehingga kamu bisa segera kembali ke acaramu," terang Gus Sami seolah tahu yang kupikirkan.

"Nabhan digendong Papah saja, sini," kata Gus Sami pada Nabhan. Ia langsung mengangkat tubuh Nabhan. Aku segera turun dan menutup pintu mobil. Mengikuti langkah-langkah panjang Gus Sami menuju ruang pendaftaran pasien.

"Mamah konfirmasi bagian pendaftaran dulu aja, biar aku menemani Nabhan di sini," kata Gus Sami enteng sambil mendudukkan Nabhan di kursi roda. Sementara aku sibuk menenangkan perasaanku. Setelah tujuh tahun aku tak mendengar Gus Sami memanggilku 'Mamah', kini panggilan itu seolah mengaduk-aduk perasaanku.

"Kenapa?" tanyanya.

"Em. Ya. Ya. Aku segera konfirmasi," kataku kikuk. Aku segera berlalu menuju bagian pendaftaran dan berharap Gus Sami tidak melihat keanehan sikapku.

Usai konfirmasi pada bagian pendaftaran, petugas pendaftaran langsung mempersilahkan kami masuk ke ruang periksa tanpa menunggu antrian.

Aku segera berlari kecil kembali ke tempat Gus Sami dan Nabhan tadi kutinggalkan, tapi mereka tidak berada di tempat. Kuedarkan pandanganku pada sekeliling ternyata mereka sedang membayar susu kotak pada petugas apotik.

"Nabhan minta susu kotak," ucap Gus Sami tanpa kutanya.

"Udah ditunggu dokter Nisa. Kita dipersilahkan langsung masuk."

Gus Sami menyerahkan susu kotak Nabhan padaku. "Oke jagoan, ayo kita tunjukkan pada dunia kalau lelaki itu makhluk keren yang hebat," kata Gus Sami sambil memencet ujung hidung Nabhan yang mancung, persis hidung Gus Sami.

Aku tersenyum melihat tingkahnya. Setelah perceraian itu baru kali ini aku melihat Gus Sami tersenyum, meskipun senyuman itu hanya untuk Nabhan. Karena sedetik kemudian ia kembali memasang wajah datarnya saat memandang ke arahku.

Kami berjalan menuju ruang periksa. Banyak mata pengunjung di ruang antrian memandang kami dengan tatapan tak terima. Mungkin karena mereka tahu jika kami baru saja sampai tetapi langsung ditangani.

"Hai, Gus Nabhan," sapa ramah seorang perempuan cantik. Jas putih yang membalut tubuhnya mempertegas kecerdasan yang tampak dari sorot matanya. Nabhan hanya meringis.

GUS MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang